Rabu, 02 Februari 2011

OBAT-OBAT ANALGETIK

ANALGETIK


PENDAHULUAN
Analgetika merupakan suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri yang diakibatkan oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan mekanis, kimiawi dan fisika sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang memicu pelepasan mediator nyeri seperti brodikinin dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak yang secara umum dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetika non narkotik seperti asetosal, parasetamol dan analgetika narkotik seperti morfin.
Rangsang yang menimbulkan rasa nyeri ialah kerusakan pada jaringan, atau gangguan metabolisme jaringan. Hal ini mengakibatkan perubahan pada konsentrasi lokal ion (penurunan harga pH jaringan, peninggian konsentrasi ion kalium ekstrasel) maupun pembebasan senyawa mediator. Sebagai akibatnya, reseptor nyeri (nosiseptor) yang terdapat dikulit, didalam jaringan yang terdapat didalam kerangka otot, jaringan ikat, dan selaput tulang dapat terangsang. Tergantung pada letak timbulnya rasa nyeri dapat dibedakan antara nyeri permukaan, nyeri yang dalam dan nyeri viceral, yang secara kualitatif dialami dengan cara yang berbeda. Dari reseptor, nyeri dikonduksi sebagai impuls listrik yang bersusulan (potensial aksi) melalui urat saraf sensorik (urat saraf nyeri) ke sumsum tulang belakang dan akhirnya melalui otak tengah (talamus) ke sinusoid pusat posterior dari otak besar, dimana terjadi kesadaran akan nyeri
Patofisiologi Nyeri
Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi serta sering memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang tidak mengenakkan, kebanyakan menyiksa dan karena itu berusaha bebas darinya. Pada beberapa penyakit, misalnya pada tumor ganas dalam fase akhir, meringankan nyeri kadang-kadang merupakan satusatunya tindakan yang berharga. Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala yang fungsinya member tanda tentang adanya gangguan-gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi kuman atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan oleh rangsangan mekanisme atau kimiawi, panas atau listrik yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan melepaskan zat yang disebut mediator nyeri. Zat ini merangsang reseptor nyeri yang letaknya pada ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir dan jaringan lain. Dari tempat ini rangsang dialirkan melalui saraf sensoris ke sistem saraf pusat (SSP), melalui 7 sumsum tulang belakang ke talamus optikus kemudian ke pusat nyeri dalam otak besar dimana rangsang terasa sebagai nyeri.
Berdasarkan tempat terjadinya, nyeri dibedakan menjadi 2 yaitu: nyeri somatik dan nyeri viceral. Nyeri somatik dibagi dua kualitas yaitu nyeri permukaan dan nyeri dalam. Bila nyeri berasal dari kulit rangsang yang bertempat dalam kulit maka rasa yang terjadi disebut nyeri permukaan, sebaliknya nyeri yang berasal dari otot, persendian, tulang, atau dari jaringan ikat disebut nyeri dalam. Nyeri permukaan yang terbentuk kira-kira setelah tertusuk dengan jarum pada kulit, mempunyai karakter yang ringan, dapat dilokalisasi dengan baik dengan hilang cepat setelah berakhirnya rangsang. Nyeri ini dapat dikatakan nyeri pertama. Nyeri pertama sering diikuti nyeri kedua khususnya pada intensitas rangsang yang tinggi. Sifatnya menekan dan membakar yang sukar untuk dilokalisasi dan lambat hilang. Nyeri ini disebut nyeri lama (11). Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamin, serotonin, plasmakinin (antara lain bradikinin) dan prostaglandin, juga ionion kalium. Zat-zat tersebut dapat mengakibatkan reaksi-reaksi radang dan kejang-kejang dari jaringan otot yang selanjutnya mengaktifkan reseptor nyeri. Plasmakinin merupakan peptida (rangkaian asam-asam amino) yang terbentuk dari protein-protein plasma, sedangkan prostaglandin merupakan zat yang mirip asam lemak dan terbentuk dari asam-asam lemak esensial. Kedua zat tersebut berkhasiat sebagai vasodilatator kuat dan memperbesar permeabilitas (daya hablur) kapiler dengan akibat terjadinya radang dan udema selain sistem penghantar nyeri, masih terdapat sistem penghambat nyeri tubuh sendiri pada tingkat yang berbeda, terutama dalam batang otak dan dalam sumsum tulang belakang, mempersulit penerusan impuls nyeri sehingga menurunkan rasa nyeri.
Endorfin sebagai agonis system penghambat nyeri tubuh sendiri telah diidentifikasikan sebagai polipeptida dan oligopeptida. Endorfin bekerja pada reseptor yang sama, disebut reseptor opiat, sehingga menunjukkan kerja farmakodinamika yang sama seperti opiat, dan karena sifat peptidanya maka farmakokinetiknya berbeda. Endorfin melalui kerja pada prasinaptik menurunkan pembebasan neurotransmitter lain khususnya senyawa P sebagai pembawa impuls nyeri somatic sehingga jumlah potensial aksi yang diteruskan menurun.
Cara pemberantasan nyeri:
1. Menghalangi pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri perifer oleh analgetika perifer atau oleh anastetik lokal.
2. Menghalangi penyaluran rangsang nyeri dalam syaraf sensoris, misalnya dengan anastetik lokal.
3. Menghalangi pusat nyeri dalam sistem syaraf pusat dengan analgetika sentral (narkotik) atau dengan anastetik umum.
a. Pengertian analgetika
Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapetik meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Kesadaran akan perasaan sakit terdiri atas dua tahap yaitu tahap penerimaan perangsang sakit dibagian otak besar dan tahap reaksi emosional dari individu terhadap perangsang ini. Obat penghilang nyeri (analgetika) mempengaruhi proses pertama dengan mempertinggi ambang kesadaraan akan rasa sakit, sedangkan narkotika menekan reaksi-reaksi psikis yang diakibatkan oleh perangsang sakit itu Berdasarkan kerja farmakologisnya, analgetika dibagi 2 kelompok besar, yaitu analgetika narkotik dan analgetika non narkotik.
b. Penggolongan Analgetika
1. Analgetika Narkotik
Zat ini mempunyai daya penghalau nyeri yang kuat sekali dengan titik kerja yang terletak di sistem saraf sentral, mereka umumnya menurunkan kesadaran (sifat meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia), serta mengakibatkan ketergantungan fisik dan psikis (ketagihan, adiksi) dengan gejala-gejala abstinensia bila pengobatan dihentikan. Analgetika narkotik atau analgesic opioid merupakan kelompok obat yang mempunyai sifat-sifat seperti opium atau morfin. Termasuk golongan obat ini yaitu:
1) Obat yang berasal dari opium-morfin,
2) Senyawa semi sintetik morfin,
3) Semi sintetik yang berefek seperti morfin.
Mekanisme aksi dari obat-obat golongan ini adalah menghambat adenilat siklase dari neuron, sehingga terjadi penghambatan sintesis c-AMP (siklik Adenosin Mono Phosphat), selanjutnya menyebabkan perubahan keseimbangan antara neuron noradrenergik, serotonik dan kolinergik. Mekanisme kerja yang sesungguhnya belum benar-benar jelas.
2. Analgetika Non Narkotik
Analgetika non-narkotik bersifat tidak adiktif dan kurang kuat dibandingkan dengan analgetika narkotik. Obat-obat ini juga dinamakan analgetika perifer, tidak menurunkan kesadaran dan tidak mengakibatkan ketagihan secara kimiawi. Obat-obatan ini digunakan untuk mengobati nyeri yang ringan sampai sedang dan dapat dibeli bebas. Obat-obatan ini efektif untuk nyeri perifer pada sakit kepala, dismenore (nyeri menstruasi), nyeri pada inflamasi, nyeri otot, dan arthritis ringan sampai sedang. Kebanyakan dari analgetika menurunkan suhu tubuh yang tinggi,
sehingga mempunyai efek antipiretik. Beberapa analgetika seperti aspirin, mempunyai efek antiinflamasi dan juga efek antikoagulan. Efek samping dari analgetika yang paling umum adalah gangguan lambung, kerusakan darah, kerusakan hati, dan juga reaksi alergi di kulit.
Analgetika secara kimiawi dibagi atas 4 golongan yaitu :
1) Golongan salisilat
a. Asetosal
b. Salisilamid
c. Natrium salisilat
2) Golongan pirazolon
a. Antipirin
b. Aminopirin
c. Fenilbutazon
3) Golongan antranilat
a. Glafenin
b. Asam mefenamat
c. Ibuprofen
4) Golongan p-aminofenol
a. Fenasetin
b. Paracetamol


OBAT-OBATAN ANALGETIK
a. Obat-obatan golongan non narkotik
1. Asam mefenamat (golongan antranilat)
Asam mefenamat merupakan kelompok antiinflamasi non steroid bekerja dengan cara menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzim siklooksiginase sehingga mempunyai efek analgesik, antiinflamasi dan antipiretik.
Uraian Kimia
Nama resmi : Acidum Mefenamicum
Sinonim : Benzoic acid, 2-[(2,3-etilfenil) amino], N-(2,3 Xyly)
anthranilic acid, ponstan.
Rumus molekul : C15H15N3NO2
Farmakodinamika
Asam mefenamat mempunyai sifat analgesik, tetapi efek antiinflamasinya lebih sedikit dibandingkan dengan aspirin, karena terikat kuat pada protein plasma maka interaksi terhadap antikoangulan harus diperhatikan.
Farmakokinetika
Penyerapan obat dalam saluran cerna cepat dan hampir sempurna, 99% obat terikat oleh protein plasma. Kadar plasma tertinggi dicapai dalam 2 jam setelah pemberian oral, dan waktu paruh dalam plasma 2-4 jam.
Efek Samping dan Intoksikasi
Efek samping yang paling sering terjadi (kira-kira terjadi pada 25% dari seluruh pasien) melibatkan sistem gastrointestinal. Biasanya berupa dispepsia atau ketidaknyamanan gastrointestinal bagian atas, diare yang mungkin berat dan disertai pembengkakan perut, serta perdarahan gastrointestinal. Sakit kepala, pusing, mengantuk, tegang dan gangguan penglihatan juga umum terjadi.
Interaksi Obat
Obat-obat anti koagulan oral seperti warfarin; asetosal (aspirin) dan insulin.
Cara Penyimpanan
Simpan di tempat sejuk dan kering.
Kontraindikasi
Pada penderita tukak lambung, radang usus, gangguan ginjal, asma dan hipersensitif terhadap asam mefenamat. Pemakaian secara hati-hati pada penderita penyakit ginjal atau hati dan peradangan saluran cerna.
Contoh produk dipasaran

Dosis
- Untuk nyeri dosis awal 500 mg, dilanjutkan dengan dosis 250 mg, setiap 6 jam jika
di perlukan, penggunaan sebaiknya tidak lebih dari 1 minggu.
- Untuk dismenore penggunaan saat terjadi haid, pnggunaan tidak lebih dari 2 -3 hari.


2. Parasetamol

Penemuan parasetamol sebagai senyawa analgetika dan antipiretik dari adanya kerancuan asetanilida yang semula digunakan sebagai antipiretik kemudian dikembangkan senyawa-senyawa yang kurang toksik sebagi antipiretik. Pada mulanya dicobakan senyawa para-aminofenol yang merupakan komponen hasil oksidasi asetanilida di dalam tubuh, walaupun demikian toksisitasnya tidak berkurang.
Nama lain parasetamol adalah asetaminofen, sedangkan nama dagang dari parasetamol adalah Panadol®, Tylenol®, Tempra®, Nipe®, derivat asetanilida ini adalah metabolit dari fenasetin, yang dahulu banyak digunakan sebagai analgetika, tetapi pada tahun 1978 telah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya, yaitu nefrotoksisitas dan karsinogen. Khasiatnya sebagai analgetika dan antipiretik tetapi tidak anti radang. Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatanSendiri) Obat ini mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri, tanpa mempengaruhi sistem saraf pusat atau menghilangkan kesadaran. Juga tidak menimbulkan ketagihan (adiktif). Obat anti nyeri parasetamol juga digunakan pada gangguan demam, infeksi virus atau kuman, salesma, pilek dan rematik atau encok walaupun jarang (Tjay dan Rahardja, 2002).
Mekanisme kerja
Paracetamol bekerja mengurangi produksi prostaglandin yang terlibat dalam proses nyeri dan edema dengan menghambat enzim cyclooxygenase (COX).

Efek samping
Efek samping sering terjadi antara lain hipersensitivitas dan kelainan darah. Penggunaan kronis dari 3-4 gram sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis diatas 6 gram mengakibatkan nekrosis hati yang tidak reversibel. Overdose bisa menimbulkan antara lain mual, muntah dan anorexia. Hanya parasetamol yang dianggap aman bagi wanita hamil dan menyusui meskipun dapat mencapai air susu. Efek iritasi, erosi dan pendarahan lambung tidak terlihat, demikian juga gangguan pernafasan.
Farmakokinetik
Parasetamol adalah ekstensif dimetabolisme di hati dan dikeluarkan melalui urin terutama sebagai tidak aktif dan konjugat glukuronat sulfat, Metabolit parasetamol termasuk dihidroksilasi kecil menengah yang memiliki aktivitas hepatotoksim, metabolit intermediate didetoksifikasi melalui konjugasi dengan glutation, namun dapat mengakumulasi berikut overdosis parasetamol (lebih dari 150mg/kg atau total parasetamol 10g tertelan) dan jika tidak ditangani dapat menyebabkan kerusakan hati ireversibel.
Farmakodinamika
Parasetamol adalah-aminofenol derivatif p yang menunjukkan aktivitas analgesik dan antipiretik, tapi tidak memiliki aktivitas anti-inflamasi, Parasetamol adalah pemikiran untuk menghasilkan analgesia yang melalui penghambatan pusat sintesis prostaglandin.
Interaksi
- resin penukar ion, kolesteramin, menurnkan absorbs paracetamol
- antikoagulan :pengunaan paracetamol secara rutin dapat menyebabkan peningkatan kadar warfarin.
- metoklorpropamid dan domperidon : metoklorpropamid mempercepat absorbs paracetamol (meningkatkan efek )
Dosis :
oral : 0.5-1 gram tiap 4-6 jam hingga maksimum 4 jam perhari.
Anak 2 bulan : 60 mg pada demam pasca operasi
Dibawah usia 3 bulan hanya dengan nasehat dokter.
3 bulan-1 tahun : 60-120 mg perhari
dosis-dosis ini boleh diulang tiap 4-6jam bila diperlukan (maksimum sebanyak 4 dosis dalam waktu 24 jam )
Contoh produk yang ada dipasaran :
a. parasetamol (generik)
b. afebrin (konimex) tablet 500mg
c. afidol (afiat) tablet 500mg
d. biogesik (medifarma) sirup 150mg/5 ml dan tablet 500 mg
e. bodrex (tempo) tablet 500 mg
f. dumin (dumex) sirup 120mg/5 ml dan tablet 500 mg
g. fasidol (ifars) sirup 150mg/5 ml dan tablet 500 mg
h. itramol (itrasal) sirup 120mg/5 ml
Sumagesik Dumin Biogesik
3. Aspirin

Aspirin atau asam asetilsalisilat (asetosal) adalah sejenis obat turunan dari salisilat yang sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit atau nyeri minor), antipiretik (terhadap demam), dan anti-inflamasi (peradangan). Aspirin juga memiliki efek antikoagulan dan dapat digunakan dalam dosis rendah dalam tempo lama untuk mencegah serangan jantung. Kepopuleran penggunaan aspirin sebagai obat dimulai pada tahun 1918 ketika terjadi pandemik flu di berbagai wilayah dunia Awal mula penggunaan aspirin sebagai obat diprakarsai oleh Hippocrates yang menggunakan ekstrak tumbuhan willow untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Kemudian senyawa ini dikembangkan oleh perusahaan Bayer menjadi senyawa asam asetilsalisilat yang dikenal saat ini. Aspirin adalah obat pertama yang dipasarkan dalam bentuk tablet. Sebelumnya, obat diperdagangkan dalam bentuk bubuk (puyer). Dalam menyambut Piala Dunia FIFA 2006 di Jerman, replika tablet aspirin raksasa dipajang di Berlin sebagai bagian dari pameran terbuka Deutschland, Land der Ideen ("Jerman, negeri berbagai ide").
Mekanisme kerja
Penghambatan sintesis prostaglandin di pusat pengatur panas dalam hipotalamus dan periferdi daerah target. Lebih lanjut, dengan menurunkan sintesis prostaglandin, salisilat juga mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsangan mekanik dan kimiawi. Aspirin juga menekan rangsang nyeri pada daerah subkortikal (yaitu, talamus dan hipotalamus).
Farmakodinamika
Asetosal merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai analgesic, antipiretik dan antiinflamasi. Aspirin dosis tinggi terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik. Dosis toksis ini justru memperlihatkan efek piretik sehingga pada keracunan berat terjadi demam dan hiperhidrosis.
Untuk memperoleh efek inflamasi yang baik kadar plasma perlu dipertahankan antara 250-350 µg/ml. kadar ini tercapai dengan dosis aspirin oral 4gram perhari untuk orang dewasa. Pada penyakit demam reumatik, aspirin masih belum dapat digantikan oleh ains yang lain dan masih dianggap sebagai standar dalam studi banding penyakit arthiritis rheumatoid.
Farmakokinetika
Pada pemberian oral sebagian salisilat diabsorbsi dengan cepat dalam bentuk utuh dilambung. Ttapi sebagian besar diusus halus bagian atas. Kadar tertingi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian. Kecepatan absorbsinya tergantung dri kecepatan disintegrasi dan disolusi obat, pH permukaan mukosa dan waktu pengosongan lambung. Setelah diabsorbsi salisilat segera menyebar keseluruh jaringan tubuh dan cairan transellular sehingga ditemukan dalam cairan senovial, cairan spinal, liur dan air susu. Obat ini dapat menembus sawar darah otak dan sawar urin. Kira-kira 80% sampai dengan 90% salisilat plasma terikat di albumin. Aspirin diserap dalam bentuk utuh, dihidrolisis menjadi asam salisilat terutama dalam hati sehingga hanya kira-kira 30 menit terdapat dalam plasma.
Efek samping
Reye's syndrome : Iritasi lambung karena bersifat asam.
Efek terhadap Sistem syaraf : Nyeri pada ujung syaraf, sakit kepala, epilepsi, agitasi, perubahan mental, koma, paralisis, pusing, limbung, depresi, bingung,amnesia, sulit tidur.
Efek lain : Demam, myopathy, epistaxis, kerusakan ginjal, penurunan fungsi ginjal, meningkatkan kreatinin, hematouria, oligouria, UTI, asidosis, asidosis metabolit, hiperfosfatemia, hipomag-nesemia, hiponatremia, hipernatremia, hipokalemia, hiperka-lemia hiperkalsemia, abnormalitis elektrolit. Tumor lisi sindrom sepsis, infeksi lain, Kerusakan jantung, gangguan pernafasan.
Interaksi obat
Dengan Obat Lain : Meningkatkan konsentrasi serum alopurinol sehingga dapat meningkatkan toksisitas allopurinol.
Chlorpropamide : Meningkatkan reaksi hepatorenal, monitor hipoglikemi.
Obat lain : Cotrimoxazole : Trombositopenia Cyclosporin : Meningkatkan konsentrasi cyclosporin dalam darah (penyesuaian dosis) .
Dengan Makanan : Makanan & susu : Menurunkan efek merugikan terhadap saluran cerna.
Dosis
Dosis : untuk nyeri dan demam
Oral : 4 dd 0,5 1 g p.c., maksimum 4 g sehari
anak-anak sampai 1 tahun 10 mg/kg 3-4 kali sehari,
1 – 12 tahun 4-6 dd,
di atas 12 tahun 4 dd 320-500 mg, maksimum 2 g/hari.
Rektal : dewasa 4 dd 0,5 – 1 g, anak-anak sampai 2 tahun 2 dd 20 mg/kg, di atas 2 tahun 3 dd 20 mg/kg p.c.
Contoh produk yang ada dipasaran
- Aptor - Aspilets - Aspimec - Aspirin Bayer
- Astika - Bodrexin - Cardio Aspirin - Farmasal
- Procardin - Restor - Thrombo Aspilets - Ascardia

Aspirin
4. Ibuprofen

Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan banyak negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama dengan aspirin. Ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh wanita hamil dan menyusui.
Indikasi
Nyeri & radang pada penyakit artritis (rheumatoid arthritis, juvenile arthritis, osteoarthritis) & gangguan non sendi (otot kerangka), nyeri ringan sampai berat termasuk dismenorea, paska bedah, nyeri & demam pada anak-anak
Mekanisme kerja
Menghambat sintesis prostaglandin dgn menghambat COX-1 & COX-2
Efek samping
Gangguan saluran cerna : dispepsia, heartburn, mual, muntah, diare, konstipasi, anoreksia dll.
Gangguan sistem saraf : sakit kepala, pusing,
Gangguan pendengaran & penglihatan : tinitus, penurunan pendengaran, gangguan penglihatan sakit kuning, kenaikan SGOT & SGPT.
Lain-lain : retensi cairan, gagal jantung kongestif, tekanan darah meningkat, hipotensi, aritmia, reaksi hipersenstivitas, mulut kering
Interaksi obat
Dengan Obat Lain :
Antikoagulan & antitrombotik : Meningkatkan efek samping perdarahan saluran cerna.
Aspirin : Meningkatkan efek samping & menurunkan efek kardioprotektif dari aspirin.
Litium : Meningkatkan konsentrasi litium dalam plasma & serum dan dapat menurunkan klirens.
Kontraindikasi
Pasien dengan hipersensitivitas, asma, urtikaria, rinitis parah, angioudema
Dosis
Artritis : 400-800 mg 3-4 kali sehari (maksimun 3.2 g/hari)
Juvenile artritis : 30-40 mg/kg berat badan per hari dalam 3-4 dosis terbagi (maksimum 50 mg/kg berat badan)
Nyeri ringan s/d sedang : 200-400 mg tiap 4-6 jam, bila perlu (max 1,2 g/hari)
Contoh produk yang ada dipasaran
- Dofen - Dolofen Forte - Farsifen - Febryn
- Fenris - Helafen - Iprox - Nofena
- Ostarin - Profen - Proris - Ribunalm Shelrofen
- Anafen


5. Na-diklofenak
Indikasi
Nyeri paska bedah, nyeri & radang pada penyakit artritis & gangguan otot kerangka lainnya, nyeri pada gout akut dan dismenorea.
Mekanisme kerja
Penghambatan biosintesa prostaglandin, yang telah dibuktikan pada beberapa percobaan, mempunyai hubungan penting dengan mekanisme kerja kalium diklofenak. Prostaglandin mempunyai peranan penting sebagai penyebab dari inflamasi, nyeri dan demam. Pada percobaan-percobaan klinis Kalium Diklofenak juga menunjukkan efek analgesik yang nyata pada nyeri sedang dan berat. Dengan adanya inflamasi yang disebabkan oleh trauma atau setelah operasi, kalium diklofenak mengurangi nyeri spontan dan nyeri pada waktu bergerak serta bengkak dan luka dengan edema. Kalium diklofenak secara in vitro tidak menekan biosintesa proteoglikan di dalam tulang rawan pada konsentrasi setara dengan konsentrasi yang dicapai pada manusia.
Kontraindikasi
Pasien dengan hipersensitivitas, asma, urtikaria, rinitis parah, angioudema, tukak lambung aktif
Efek samping
Pencernaan :gangguan pada saluran cerna bagian atas (20% pasien) tukak lambung, perdarahan saluran cerna.
Saraf : sakit kepala (3-9% pasien), depresi, insomnia, cemas.
Ginjal :(kurang dari 1% pasien) terganggu fungsi ginjal (azotemia,proteinuria,nefrotik sindrom dll),
Kardiovaskular: retensi cairan, hipertensi, (3-9% pasien),
Pernapasan : asma (kurang dari 1% pasien)
Darah : lekopenia, trombositopenia, hemolitik anemia (kurang dari 1% pasien)
Hati : hepatitis, sakit kuning (jarang), peningkatan SGOT
Lain-lain : ruam, pruritus, tinnitus, reaksi sensitivitas (1-3% pasien).
Interaksi
Dengan Obat Lain :
Antikoagulan : Dapat memperparah perdarahan saluran cerna.
Metotreksat : Meningkatkan konsentrasi metotreksat.
Glikosida jantung : Meningkatkan toksisitas glikosida jantung.
Diuretik : Secara bersamaan dengan HCT, meningkatkan kadar kalium dalam serum, dengan triamterene meningkatkan resiko kerusakan ginjal.
NSAID : Penggunaan bersama aspirin dapat meningkatkan eksresi diklofenak melalui empedu.
Siklosporin : Meningkatkan efek nefrotoksik siklosporin.
Litium :Meningkatkan konsentrasi plasma litium dan menurunkan klirens litium.
Antidiabet :Kasus hipoglikemik & hiperglikemi (jarang terjadi)
Kuinolon : Dapat meningkatkan resiko stimulasi sistem saraf pusat
Antasid : Dapat menunda absorpsi diklofenak.
Kortikosteroid : Meningkatkan resiko ulser saluran cerna
Dosis
Nyeri & dismenore :
Dosis awal : 50 mg, dilanjutkan 50 mg setiap 8 jam jika perlu
Pada pasien dengan gangguan ginjal dan hati tidak perlu penyesuaian dosis, tetapi perlu pemantauan yang ketat

Contoh obat yang ada dipasaran
- Alflam - Atranac - Berifen SR - Cataflam
- Cataflam D - Catanac - Deflamat - Dicloflam
- Diclomec - Diclomec Gel - Exaflam - Fenaren
- Fenavel - Flamenac - Kadiflam - Kaditic
- K Diklofenak - Klotaren - Laflanac - Matsunaflam
- Megatic - Merflam - Nadifen - Neuorofenac
- Nichoflam - Nilaren - Potazen - Prostanac
- Provoltar - Reclofen - Renadinac - Renvol
- Scanaflam - Scanteran - Tirmaclo - Valto
- Volmatik - Voltadex - Voltadex SR - Voltaren
- Voren - X-flam - Xepathritis - Zegren
- Adiflam

b. Obat-obatan golongan narkotik
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid :
1. Morfin dan Alkaloid opium
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh tetapi dapat diansorbsi melalui kulit luka morfin juga dapat menembus mokosa. Dengan kedua cara pemberian in absorbs morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorbsi usus, tetapi efek analgetik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid setelah suntikan IV sangat cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan absorbs berbagai alkaloid berbeda-beda. Setelaah pemberian dosis tunggal sebagian morfin mengalami kunjugasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian dikleluarkan dalam bentuk bebas dan 10 % tidak diketahui nasibnya. Morfin dapat melintasi sawar urin dan mempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal, sebagian kecil bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi ditemukan dalam empedu, sebagian yang sangat kecilkn dikeluarkan melalui cairan lambung.
Opium atau candu adalah getah papaver somniferum L yang telah dikeringkan. Secara kimia opium dibagi menjadi 2 golongan : 1) gol. Penantren 2) gol. Benzilisokinolin. Dari alkaloid derivate fenantren yang alamiah telah dibuat berbagai derivate sintetik.
Farmakologi
Dari masing-masing derivat secara kualitatif sama dan bebeda secara kuantitatif dengan morfin. Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama di timbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor µ, selain itu morfin mempunya afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor δ dan K. efek berupa analgesia oleh morfin dan nakrosis dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang terutama yang didapakan di SSP dan medulla spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri. Agonis opioid melalui reseptor µ, δ dan K pada ujung sinaps aferen primer nosiseptif mengurangi penglepasan tramsmiter, dan selanjutnya menghambat saraf yang mentransmisi nyeri di komu dorsalis medulla spinalis. Dengan demikian opioid memiliki efek analgesic yang kuat melalui pengaruh pada medulla spinalis, selain itu µ agonis juga menimbulkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor µ di otak.
Ekskresi morfin sebagian besar melalui ginjal sebagian kecil di keluarkan melalui tinja dan keringat
Indikasi
Diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan obat analgesic non opioid. Morfin sering digunakan nyeri yang menyertai 1) infark miokard; 2) neoplasma; 3)kolik renal atau kolik empedu; 4) oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner; 5) perikarditis akut, pleuritis dan pneumotoraks spontan dan 6) nyeri akibat trauma.

Efek samping
Idiosinkrasi dan Alergi. Morfin dapat menyebabkan mual dan muntaah terutama pada wanita berdasarkan idiosinkrasi. Bentuk idiosinkrasi lain ialah timbulnya eksitasi dengan tremor, dan jarang-jarang dillirium lebihjarang lagi konfulsi dan insomnia. Bayi dan anak kecil tidak lebih peka terhadap alkaloid opium, asal saja dosis diperhitungkan berdasarkan berat badan, tetapi oranng lanjut usia dan pasien Penyakit berat agaknya lebih peka terhadap efek morfin.
Toleransi
Toleransi timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul terhadap efek eksitasi, miosis dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara morfin, dihidromorfinon, metopon, kodein dan heroin. Toleransi timbul setelah pemakaian 2-3 minggu, kemungkinan timbul efek toleransi lebih besar apabila digunakan dosis besar secara teratur.
Adiksi
Disebut juga daya untuk menimbulkan adiksi berbeda-beda untuk masing-masing obat. Bahaya terbesar terdapat di heroin menimbulkan euphoria yang kuat yang tidak disertai mual ddan konstipasi
Contoh nama obat gol. Opioid
No Nama 8 Nama
1 Morfin 9 Hidralorfinokodon
2 Heroin 10 Oksikodon
3 Hidromorfon 11 Nalorfin
4 Oksimorfon 12 Nalokson
5 Levorvanol 13 Naltrekson
6 Levalorfan 14 Butorfanol
7 Kodein 15 Nalbufin
16 Tebain

2. Mefiridin dan Derivat Fenilpiperidin
Farmakodinamik
Bekerja terutama kerja sebagai agonis reseptor µ. Obat lain yang mirip dengan meperidin ialah piminodin, ketobemidon dan fenoperidin.
Farmakokinetik
Absorbsi meferidin setelah cara pemberian apapun langsung baik, akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma dalam 45 menit dan kadar yang dicapai sangat berfariasi antar individu. Setelah pemberian secara oral sekitar 50 % mengalami metabolism lintas pertama dan kadar maksimal dalam plasma tercapai dalam 11-2 jam. Setelah pemberian IV kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung dengan lambat. Kurang lebih 60 % meferidin dalam plasma terikat protein metabolism meferidin terutama berlangsung dihati.
Farmakologi
efek dari mefiridin serupa dengan morfin.
Indikasi
Mefridin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia pada beberapa keadaan klinis seperti tindakan diagnostic sistoskopi, pielografiretrograd dan gastroskopi. Mefiridin digunakan jagu untuk menimbulkan analgesia obstetric dan sebagai obat praanastetik.

Efek samping
Pusing, berkeringat, euporia, mulut kering, mual, muntah, perasaan lemahl, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.


Sediaan dan dosis
Mefiridin : 50-100 mg ( dalam bentuk tablet dan ampul)
Alfaprodin : 60 mg ( dalam bentuk ampul 1 ml dan vial 10 ml)
Difoneksilat : 20 mg per hari dalam dosis terbagi (dalam bentuk tablet dan sirop)
Loperamid : 4 – 8 mg /hari
Fentanil dan Derivatnya
3. Metadon
Farmakokinetik
Setelah suntikan metadon subkutan ditemukan kadar dalam plasma yang tinggi dalam 10 menit pertama. Sekitar 90 % metadon terikat protein plasma. Metadon diabsorbsi secara baik di usus dan dapat ditemukan diplasma setealah pemberian secara oral, kadar puncak dicapai setelah 4 jam. Metadon cepat keluar dari darah dan menumpuk dalam paru, hati, ginjal dan limpa. Hanya sebagian kecil yang masuk otak kadar maksimal metadon dalam otak dicapai dalam 1-2 jam setelah pemberian parenteral dan kadar ini sejajar dengan intensitas dan lama analgesia.
Farmakodinamik
Efek analgetik 7,5 – 10 mg metadon sama kuat dengan morfin, setelah pemberian berulang kali timbul efek sedasi yang jelas, mungkin karena adanya akumulasi.

Indikasi
Analgesia : Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi oleh metadon sama dengan jenis nyeri yang dapat dipengaruhi morfin.
Antitusif : Metadon merupakan antitusif yang baik, efek anti tusif 1,5 -2 mg /oral sesuai dengan 15-20 mg kodein, tetapi kemungkinan timbulnya adiksi pada metadon jauh lebih besar dari pada kodein. Oleh karena itu sekarang metadon sudah mulai ditinggalkan sebagai antitusif.
Efek Samping
Menyebabkan perasaan ringan, pusing, kantuk, fungsi mental terganggu, berkerigat, pruritus, mual dan muntah. Efek samping yang jarang timbul adalah delirium, halusinasi selintas dan urtikaria hemoragik.
Sediaan dan Dosis
Metadon : 2,5 – 15 mg ( dalam bentuk tablet, vial dan ampul)
4. Propoksifen
Farmakodinamik
Propoksifen terutama bekerja terikat pada reseptor µmeskipunkurang selektif disbandingkan dengan morfin. Propoksifen 65-100 mg memberikan efek yang sama kuat denga 65 mg kodein. Propoksifen menimbulka perasaan yang panas dan iritasi ditempat suntikan. Kombinasi propoksifen dengan asetosal berefek analgesic jauh lebih baik jika masing-masing obat diberikan secara sendiri-sendiri.
Farmakokinetik
Propoksifen diabsorbsi setelah pemberian oral maupun parenteral. Seperti kodein, efektivitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan secara oral. Biotransformasi propoksifen dengan cara enbemetilasi yang terjadi dalam hati.
Indikasi
Hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan sampai nyeri sedang, yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal. Kombinasi propoksifen dengan asetosal sama kuat seperti kombinasi kodein dengan asetosal.
Efek samping
Propoksifen memberikan efek mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk, kurang lebih sama dengan kodein
Sediaan dan dosis
Propoksifen : 65 mg 4x sehari ( dalam bentuk tablet dan vial)
5. Antagonis Opioid
Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis opioid aatau bila opioid endogen edang aktif misalnya pada keadaan stress atau syok. Nalokson merupakan prototif antagonis opioid yang relative murni, demikian pula naltrekson yang dapat diberikan secara oral dan memperlihatkan masa kerjalebih yang lama dari pada nalokson.
Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya disamping memperlihatkan efek antagonis, menimbulkan efek otonomik, endokrin, analgetik dan depresi nafas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin. Obat-obat ini merupakan antagonis kompetitif reseptor µ, tetapi juga memperlihatkan efek agonis pada reseptor-reseptor lain.
Farmakodinamik
Efek tanpa pengaruh opioid pada berbagai eksperimen bahwa nalokson memperlihatkan :
a. Menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya tinggi
b. Mengantagonis efek analgetik placebo
c. Mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan leawat jarum akupuntur, semua efek ini diduga berdasarkan antagonisme nalokson terhadap opioid endogen yang dalam keadaan lebih aktif
Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi nafas yang diduga karena kerjanya pada reseptor K. berbeda dengan morfin, depresi nafas ini tidak bertambah dengan bertambahnya dosis, kedua obat ini bekerja memperberat depresi nafas oleh morfin dosis kecil, tetapi mengantagonis depresi nafas akibat morfin dosis besar.
Efek dengan pengaruh opioid frekuensi nafas meningkat dalam 1-2 menit setelah pemberian IV, IM nalokson pada pasien dengan depresi nafas akibat agonis opioid, efek sedatef dan efek terhadap tekanan darah juga segera dihilangkan. Antagonis nalokson terhadap efek agonis opioid sering disertai dengan terjadinya fenomena overshoot misalnya berupa penigkatan frekuensi nafas melebihi frekuensi sebelum dihambat oleh opioid. Fenomena ini diduga berhubungan dengan terungkapnya (unmasking) ketergantungan fisik akut yang timbul 24 jam setelah morfin dosis besar.
Indikasi
Antagonis opioid ini diindikasikan untuk mengatasi depresi nafas akibat takar kajak opioid, pada bayi yang dilairkan oleh ibu yang mendapat opioid sewaktu perdalinan atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid. Dalam hal ini alokson merupakan obat pilihan untuk kasus ini.
Sediaan dan Dosis
Nalorfin HCL : 0,2 mg /ml unutuk anak, 5 mg/ml untuk dewasa
Levalorvan : 1 mg/ml
Nalokson : 0,4 mg/ml
6. Agonis Parsial
a. Pentazosin
Farmakodinamik
Obat ini merupakan antagonis lemah pada reseptor µ tetapi merupakan agonis yang kuat pada reseptor K dan δ sehingga tidak mengantagonis depresi nafas oleh morfin. Efeknya terhadap SSP mirip dengan efek opioid yaitu nyebabkan analgesi, sedasi dan depresi nafas. Analgesi yang timbul agaknya karna efek pada reseptor K, karena sifatnya berbeda dengan analgesi akibat morfin. Analgesi timbul lebih dini dan hilang lebih cepat daripada morfin, setelah pemberian secara IM analgesi mencapai maksimal dalam 30 – 60 menit dan berakhir setelah 2-3 jam. Setelah pemberian oral efek maksimal dalam 1 – 3 jam dan lama kerja agak panjang darimpada setelah pemberian IM. Depresi nafas yang ditiimbulkannya tidak sejalan dengan dosis, pada dosis 60-90 mg obat ini menyebabkan disporia dan efek psikotomimetik mirip dengan morfin yang hanya dapat di antagomnis oleh aloksan. Diduga timbulnya disporia dan efek psikotomimetik karena kerjanya pada reseptor δ.
Farmakokinetik
Pentazosin diserap baik melalui pemberian apa saja, tetapi karena mengalami metabolism lintas pertama, bioavailabilytas per oral cukup berpariasi. Obat ini dimetabolisme secara intensif di hati untuk kemmudian di ekskresi sebagai metabolit melalui urin. Pada penderita sirosis hepatis bersihannya sangat kuat.
Indikasi
Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang tetapi kurang efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat. Obat ini juga digunakan untuk medikasi pre anastetik. Bila digunnakan untukk analgesi opstertik pentazosin dapat mengakibatkan depresi nafas yang sebanding meferidin.

Sediaan dan Dosis
Pentazosin : 30 mg (secara IV/IM) dapat diulang tiap 3-4 jam, dosis total maksimal 360 mg/ hari
Untuk analgesi optaltik diberikan dosis tunggal 20 atau 30 mg secara IM.
Sediaan : vial 1, 1,5, 2 dan 10 ml
b. Butorfanol
Secara kimia mirip levorfanol akan tetapi profil kerjanya mirip pentazosin. Pada penderita paska beda, suntikan 2 -3 mg butorfanol menimbulkan analgesi dan depresi nafas menyerupai efek akibat suntikan 10 mg morfin atau 80 mg meferidin. Seperti pentazisin dan obat lain yang dihipotesiskan bekerja pada reseptor K dan σ, peningkatan dosis juga disertai memberatnya depresi nafas dan menonjol.

Farmakodinamik
Efek farmakodinamik butorfenol sama seperti pentazosin.
Efek Samping
Butorfanol menyebabkan ngantuk, mual, berkeringat kadang-kadang terjadi gangguan kardiocaskular yaitu kalpitasi dan gangguan kulit rash.
INDIKASI butarfanol efektif mengatasi nyeri akut pasca operasi sebanding dengan morfin eferidin atau pentazosin. Demikian pula butorfanol sama efektif dengan mefiridin untuk medikasi preanastetik akantetapi efek sedasinya lebih kuat.
Sediaan dan dosis
Butorfanol : dewasa 1-4 mg IM atau 0,5 – 2 mg IV dan dapapt diulang sampai dengan 2-4 jam



















KESIMPULAN
Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapetik meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Kesadaran akan perasaan sakit terdiri atas dua tahap yaitu tahap penerimaan perangsang sakit dibagian otak besar dan tahap reaksi emosional dari individu terhadap perangsang ini.
No Nama obat Dosis Indikasi Efek samping
1 Gol.non-Narkotik
-Asam mefenamat


dosis aawal 500 mg, dilanjutkan dengan dosis 250 mg, setiap 6 jam jika
digunaUntuk dismenore penggunaan saat terjadi haid, pnggunaan tidak lebih dari 2 -3 hari. Nyeri ringan sampai sedang Dyspepsia, diare, perdarahan gastrointestinal. Sakit kepala, pusing, mengantuk.

-Parasetamol oral : 0.5-1 gram sehari
Anak 2 bulan : 60 mg pada demam pasca operasi
Usia < 3 bulan hanya dengan nasehat dokter.
3 bulan-1 tahun : 60-120 mg perhari Nyeri ringan Hipersensitivitas dan kelainan darah. Penggunaan kronis dari 3-4 gram/hari, kerusakan hati, pada dosis > 6gram nekrosis hati. Overdose bias mual, muntah dan anorexia.
-Aspirin Oral : 4 dd 0,5 1 g p.c., maksimum 4 g sehari
anak-anak 1 tahun 10 mg/kg 3-4 kal/hari
1 – 12 tahun 4-6 dd,
> 12 tahun 4 dd 320-500 mg, maksimum 2 g/hari.
Rektal : dewasa 4 dd 0,5 – 1 g, anak-anak sampai 2 tahun 2 dd 20 mg/kg, di atas 2 tahun 3 dd 20 mg/kg p.c. Nyeri ringan sampai sedang, pada dosis rendah sebagai anti koagulan. Reye's syndrome : Iritasi lambung karena bersifat asam.
Efek terhadap Sistem syaraf : Nyeri pada ujung syaraf, sakit kepala, epilepsi, agitasi, perubahan mental, koma, paralisis, pusing, limbung, depresi, bingung,amnesia, sulit tidur.
-Ibuprofen

Artritis : 400-800 mg 3-4 kali sehari (maksimun 3.2 g/hari)
Juvenile artritis : 30-40 mg/kg BB/hari dalam 3-4 dosis terbagi (maksimum 50 mg/kg berat badan)
Nyeri ringan s/d sedang : 200-400 mg tiap 4-6 jam, bila perlu (max 1,2 g/hari) Nyeri ringan sampai sedang Dispepsia, heartburn, mual, muntah, diare, konstipasi, anoreksia dll. sakit kepala, pusing,
tinitus, penurunan pendengaran, gangguan penglihatan sakit kuning, kenaikan SGOT & SGPT
-Na.diklofenak
Dosis awal : 50 mg, dilanjutkan 50 mg setiap 8 jam jika perlu Nyeri ringan sampai sedang gangguan pada saluran cerna
,tukaklambung,perdarahansalurancerna.
sakit kepala (3-9% pasien), depresi, insomnia, cemas.
(kurang dari 1% pasien) terganggu fungsi ginjal (azotemia,proteinuria,nefrotik sindrom dll), retensi cairan, hipertensi,(3-9%pasien),asma (kurang dari 1% pasien) lekopenia, trombositopenia, hemolitik anemia (kurang dari 1% pasien),hepatitis, sakit kuning (jarang), peningkatan SGOT

Golongan narkotik
- Morfin dan alkaloid opium

Mefiridin : 50-100 mg
Diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan obat analgesic non opioid Pusing, berkeringat, euporia, mulut kering, mual, muntah, perasaan lemahl, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi
2. - Metadon 2,5 – 15 mg (dalam bentuk tablet, vial dan ampul) Jenis nyeri yang sama dengan nyeri pada morfin Menyebabkan perasaan ringan, pusing, kantuk, fungsi mental terganggu, berkerigat, pruritus, mual dan muntah. Efek samping yang jarang timbul adalah delirium, halusinasi selintas dan urtikaria hemoragik.
3. -Propoksifen
65 mg 4x sehari (dalam bentuk tablet dan vial) Hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan sampai nyeri sedang Propoksifen memberikan efek mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk, kurang lebih sama dengan kodein

4. - Antagonis Opioid

Nalorfin HCL : 0,2 mg /ml unutuk anak, 5 mg/ml untukdewasa
Levalorvan : 1 mg/ml
Nalokson : 0,4 mg/ml
Antagonis opioid ini diindikasikan untuk mengatasi depresi nafas akibat ngantuk, mual, berkeringat kadang-kadang
5. - Agonis Parsial Pentazosin: 30 mg (IV/IM) dosis total maksimal 360 mg/ hari
analgesi optaltik diberikan dosis tunggal 20 atau 30 mg secara IM. Nyeri sedang tetapi kurang efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat. untuk medikasi pre anastetik. Bila digunnakan untukk analgesi opstertik pentazosin dapat mengakibatkan depresi nafas yang sebanding meferidin. Ngantuk, mual, berkeringat kadang-kadang terjadi gangguan kardiocaskular yaitu kalpitasi dan gangguan kulit rash







DAFTAR PUSTAKA

1. Tan HT, dan Rahardja K. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan, dan Efek Sampingnya. Edisi V. PT. Alex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta. 2002.
2. Tim penyusun, 2008, ISO Farmakoterapi,ISFI, Jakarta
3. Campbell, W.B. (1991). Lipid-Derived Autacoids : Eicosanoids and Platelet-Activating Factor. Dalam: Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics. Ed 8. Editor: Gilman, A.G. et al. New York: Pergamon Press. Vol. I. Halaman 600-602, 605-606, 61 1.
4. Pamela C, dkk, Farmakologi Ulasan Bergambar, Edisi 2. PT. widya medika : Jakarta
5. Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. 1995. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta

Tidak ada komentar: