Sabtu, 26 Desember 2009

FARMAKO KINETIK OBAT

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tablet merupakan bentuk sediaan obat yang diberikan melalui mulut merupakan cara pemberian obat yang paling utama untuk memperoleh efek sistemik, dimana lebih dari 90 % persenyawaan obat diberikan melalui rute ini. Obat-obat yang diberikan secara per oral dalam bentuk sediaan farmasi sangat beragam dan mempunyai keuntungan masing-masing. Salah-satunya dalam bentuk tablet.
Tablet merupakan bentuk sediaan obat yang paling sering digunakan, karena harganya murah dengan takaran yang tepat dan dapat dikemas secara baik. Tablet merupakan sediaan padat dan kompak yang dibuat dengan cara kempa atau dengan cetak. Zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai, zat pengikat, zat pelincir, zat pembsahan atau zat lain yang cocok. Untuk mendapatkan tablet yan optimal maka dibutuhkan suatu formula, untuk menghasilkan suatu formula yang optimal dalam proses pembuatan tablet diperlukan suatu studi awal sebelum memasuki tahap formula sesungguhnya.
Proses suatu zat padat memasuki pelarut dan menghasilkan suatu larutan atau melarutnya zat padat disebut disolusi. Beberapa factor yang dapat mempengaruhi disolusi antara lain sifat fisikokimia obat, factor formulasi, anatomi fisiologi saluran cerna dan lain-lain.
Jalur Proses disolusi suatu obat yaitu :
Disintegrasi Deagregasi
Tablet kapsul granul/agregat partikel halus

Disolusi Disolusi Disolusi

Obat dalam larutan
(invitro/invivo)

Absorpsi (in vivo)

Obat dalam darah, cairan tubuh lainnya dan dalam jaringan
Laju disolusi bahan obat dapat mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang diabsorpsi. Untuk bahan obat yang mudah larut dalam air, disolusi cenderung lebih cepat, namun kemampuan obat untuk menembus membrane sel tidak cepat. Dan sebagai tahap penentu laju adalah absorpsi melalui membrane pencernaan. Untuk obat yang tidak larut dalam air, mudah larut dalam lemak maka obat tersebut lebih mudah menembus membrane sel, kecepatan absorbsinya dibatasi oleh kecepatan disolusi dari obat yang tidak larut dari sediaan.
Untuk menguji disolusi tablet maka diperlukan medium yang sesuai. Medium yang digunakan dalam disolusi merupakan pelarut dengan karakteristik tertentu dan merupakan suatu medium pembanding bagaimana suatu zat aktif bekerja dalam tubuh. Air merupakan medium pelarut yang bersifat netral, dan dapar posfat dengan pH tertentu digunakan untuk memperkirakan nasib suatu obat di dalam usus.
Dalam praktikum ini digunakan parasetamol tablet dari indo farma sebagai tablet yang akan diuji.selain itu, digunakan dapar fosfat pH 5,8 sebagai medium disolusi ditunjukan untuk mengasumsikan kerja parasetamol di usus agar sama seperti suasana pH didalam usus dan memahami profil disolusi obat.

B. TUJUAN
1. Memahami profil disolusi obat dalam berbagai kondisi pH
2. Memahami pengaruh formulasi terhadap laju disolusi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Parasetamol
1. Umum
Nama kimianya dikenal N-asetil-4-aminofenol dengan rumus molekul C8H9NO2.
Parasetamol merupakan metabolit aktif fenasetin yang bertanggung jawab bagi efek analgesiknya. Ia menghambat prostaglandin yang lemah dan efek antiinflamasinya tidak bermakna. Asetaminofen di Indonesia dikenal dengan nama parasetamol dan diberikan secara per oral, parasetamol kurang mengiritasi lambung dan karena itu secara umum lebih disukai.
2. Sifat Fisika dan Kimia
Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0%, mempunyai rumus molekul C8H9NO2 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan, dengan bobot molekul 151,16.
Parasetamol mempunyai bentuk hablur atau serbuk putih, tidak berbau, rasa pahit, memiliki suhu lebur 169 C sampai 172 C. larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%)P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P, larut dalam larutan alkali hidroksida.

B. Disolusi
Laju disolusi merupakan waktu yang diperlukan obat untuk melarut dalam cairan. Laju disolusi dinyatakan sebagai milligram zat yang dilarutkan permenit sentimeter persegi (mg/ menit/ cm2).

Disolusi adalah suatu perubahan proses dari bentuk padat ke bentuk cairan atau larut, dimana dimulai dengan disintegrasi kemudian melarut sehingga menghasilkan bentuk larutan. Disolusi dapat mengakibatkan perbedaan aktifitas biologi dari suatu zat obat mungkin diakibatkan oleh laju dimana obat menjadi tersedia untuk diserap tubuh.
Alat disolusi yang digunakan pada tablet parasetamol adalah alat tipe 2 dengan metode dayung, yang terdiri dari daun dan batang seperti pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertical wadah dan berputar halus tanpa goyangan.
Pada praktikum uji disolusi tablet parasetamol menggunakan medium disolusi larutan dapar posfat. Dapar adalah senyawa-senyawa atau campuran senyawa yang dapat meniadakan perubahan pH terhadap penambahan sedikit asam atau basa, atau dikenal sebagai aksi dapar. Larutan dapar posfat digunakan sebagai media buatan untuk memperkirakan nasib obat dalam usus yang pada umumnya bersifat basa dengan pH sekitar 5-8.
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi yaitu:
1. Sifat fisikokimia obat.
a. Karakteristik fase padat.
Laju disolusi dipengaruhi oleh bentuk amorf dan kristal. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa bentuk amorf dari obat lebih memberikan kelarutan yang besar dan laju disolusi yang lebih tinggi daripada bentuk kristal.
b. Polimorfisme.
Polimorf merupakan bentuk kristal obat yang terdiri lebih dari satu bentuk kristal. Polimorf menunjukkan kinetika pelarut yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Beberapa laporan menunjukkan bahwa polimorfisme dalam bentuk hidrat, solvate atau kompleks secara nyata mempengaruhi karakteristik disolusi & obat.
c. Karakteristik partikel.
Laju disolusi secara langsung berhubungan dengan permukaan obat. Jika daerah permukaan diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel, laju disolusi menjadi tinggi disebabkan pengurangan ukuran partikel
2. Faktor formulasi
a. Bahan tambahan.
Laju disolusi suatu obat murni dapat berubah secara bermakna saat dicampur dengan berbagai bahan tambahan selama proses pencetakan bentuk sediaan. Bahan tambahan ini antara lain bahan pengisi, pengikat, penghancur, pelicin, dan sebagainya.
b. Ukuran partikel.
Untuk meningkatkan laju disolusi dipilih ukuran partikel optimal yaitu cukup kecil untuk memberikan luas permukaan spesifik yang berarti, tetapi tidak terlalu kecil agar kesulitan pembasahan yang disebabkan oleh muatan partikel yang terjadi selama penggerusan dapat dihindari.
Uji Disolusi Tablet yaitu untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi (missal Farmakope) untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masing-masing monografi.
Persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan table penerimaan. Lanjutkan pengujian sampai 3 tahap kecuali bila hasil pengujian memenuhi tahap S1 atau S2. Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut seperti tertera pada masing-masing monografi, dinyatakan dalam persentasi kadar pada etiket, angka 5% dan 15% dalam table adalah persentasi kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti sama dengan Q. Berikut ini merupakan table penerimaan uji disolusi yang tertera pada Farmakope IV:
Tahap Pengujian Jumlah satuan yang diuji Kriteria Penerimaan

S1 6 Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q+5%
S2 6 Rata-rata dari 12 unit (S1 + S2) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15%
S3 12 Rata-rata dari 24 unit (S1 + S2 + S3) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15% dan tidak satu unitpun yang lebih kecil dari Q – 25%

BAB III
METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan
Alat-alat :
1. Disolution tester
2. Spektrofotometer UV-VIS
3. Vial 12 pcs @ 15 ml
Bahan-bahan:
1. Tablet parasetamol (generic dan paten)
2. HCl 0,1 N
3. Larutan dapar fosfat pH 5,8 dan 7,5
4. Aquadest

B. Cara Kerja
1. Siapkan alat dissolution tester tipe 2 dan bahan.
2. Setiap kelompok menggunakan satu sampel uji dengan medium disolusi yang telah ditetapkan.
3. Penentuan panjang gelombang larutan parasetamol; buat larutan standar konsentrasi 10μg/ml dan ukur serapannya pada panjang gelombang 220-350 nm.
4. Pembuatan kurva kalibrasi; buat larutan standar parasetamol dengan beberapa konsentrasi yaitu, 4, 6, 8, 10, 12, dan 14μg/ml dan ukur serapannya pada panjang gelombang maksimum (hasil pengukuran pada no. 2).
5. Penentuan profil disolusi; wadah disolusi (chamber) diisi dengan medium disolusi sebanyak 900 ml. Tablet parasetamol dimasukkan dalam chamber yang telah terisi medium disolusi kemudian atur alat disolusi pada kecepatan 50 rpm. Ambillah larutan dalam chamber (melalui pemipetan) sebanyak 5 ml pada menit ke 0, 5, 10, 15, 20, dan 30 dan setiap pengambilan harus digantikan dengan medium lagi sejumlah yang sama. Masing-masing larutan tersebut diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum dengan spektrofotometer UV-Vis, kemudian tentukan kadar parasetamol yang terdisolusi per satuan waktu menggunakan kurva kalibrasi.


BAB IV
HASIL DAN PERHITUNGAN

A. Hasil
Dari hasil praktikum pada tanggal 20 Oktober 2009 di dapat hasil :
1. Kurva Kalibrasi Parasetamol
Standar Konsentrasi Absorban
1. 4,000 0,191
2. 6,000 0,315
3. 8,000 0,436
4. 10,000 0,557
5. 12,000 0,665

2. Kurva Parasetamol Generik (PCT PT INDOFARMA)
Menit Ke Konsentrasi absorban
0 menit 4,3055 0,213
5 menit 6,8316 0,363
10 menit 7,2910 0,391
15 menit 7,1105 0,380
20 menit 7,3197 0,392
30 menit 7,2007 0,385

3. Kurva Parasetamol Paten (PAMOL)
Menit Ke Konsentrasi absorban
0 menit 1,1478 0,025
5 menit 6,9916 0,373
10 menit 7,8405 0,423
15 menit 7,7954 0,421
20 menit 7,1987 0,385
30 menit 7,3607 0,395



B. Perhitungan
1. Parasetamol Generik (PCT PT INDOFARMA)
a. Menit ke 0
- Y = a + bx
0,213 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,213 + 0,0432
X = 4,30588 μg/ml = 0,00430588 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,00430588 mg/ml × 900 ml
= 387,5294 mg

b. Menit ke 5
- Y = a + bx
0,363 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,363 + 0,278
X = 6,8268 μg/ml = 0,0068268 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0068268 mg/ml × 900 ml
= 614,4201 mg

c. Menit ke 10
- Y = a + bx
0,391 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,391 + 0,0432
X = 7,2974 μg/ml = 0,007294 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0072974 mg/ml × 900 ml
= 656,7731 mg

d. Menit ke 15
- Y = a + bx
0,380 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,380 + 0,0432
X = 7,1126 μg/ml = 0,0071126 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0071126 mg/ml × 900 ml
= 640,1344 mg

e. Menit ke 20
- Y = a + bx
0,392 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,392 + 0,0432
X = 7,3143 μg/ml = 0,0073143 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0073143 mg/ml × 900 ml
= 658,2857 mg

f. Menit ke 30
- Y = a + bx
0,0,385 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,385 + 0,0432
X = 7,1966 μg/ml = 0,0071966 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0071966 mg/ml × 900 ml
= 647,6974 mg

2. Parasetamol Paten (PAMOL)
a. Menit ke 0
- Y = a + bx
0,025 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,025 + 0,0432
X = 7,6807 μg/ml = 0,0076807 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0076807 mg/ml × 900 ml
= 691,2630 mg

b. Menit ke 5
- Y = a + bx
0,373 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,373 + 0,0432
X = 6,9949 μg/ml = 0,0069949 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,006994 mg/ml × 900 ml
= 629,5410 mg

c. Menit ke 10
- Y = a + bx
0,423 = −0,0423 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,423 + 0,0432
X = 7,8353 μg/ml = 0,0078353 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0078353 mg/ml × 900 ml
= 705,1765 mg

d. Menit ke 15
- Y = a + bx
0,421 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,421 + 0,0432
X = 7,8016 μg/ml = 0,0078016 mg/ml

- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0067597 mg/ml × 900 ml
= 702,1512 mg/ml

e. Menit ke 20
- Y = a + bx
0,385 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,385 + 0,0432
X = 7,1966 μg/ml = 0,0071966 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0071966g/ml × 900 ml
= 647,694 mg

f. Menit ke 30
Y = a + bx
0,395 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,395 + 0,0432
X = 7,3647 μg/ml = 0,0073647 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0073647 mg/ml × 900 ml
= 662,8235 mg


Menit Ke PCT Generik %Terdisolusi PCT PATEN % Terdisolusi

0 menit 77,9364 % 16,1832 %
5 menit 123,9972 % 93,2356 %
10 menit 133,1975 % 117,7816 %
15 menit 130,5811 % 123,5984 %
20 menit 134,9428 % 132,5063 %
30 menit 133,5447 % 136,2686 %

BAB V
PEMBAHASAN
Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik dan secara keseluruhan menunjukkan kinetic dan perbandingan zat aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan. Ketersediaan hayati obat yang diformulasi menjadi sediaan farmasi merupakan bagian dari salah satu tujuan rancangan bentuk sediaan dan yang terpenting untuk keefektifan obat tersebut. Pegkajian terhadap ketersediaan hayati ini tergantung pada absorpsi obat ke dalam sirkulasi umum serta pengukuran dari obat yang terabsorpsi tersebut. Dalam menaksir ketersediaan hayati ada tiga parameter yang biasanya diukur yang an profil konsentrasi dalam darah dan waktu dari obat yang diberikan (Abdou, 1989).
1. Konsentrasi puncak (Cmax), menggambarkan konsentrasi obat tertinggi dalam sirkulasi sistemik. Konsentrasi ini tergantung pada konstanta absorbsi, dosis, volume distribusi dan waktu pencapaian konsentrasi obat maksimum dalam darah. Konsentrasi puncak sering kali dikaitkan dengan intensitas respon biologis dan harus di atas MEC dan tidak melebihi MTC.
2. Waktu untuk konsentrasi puncak (tmax) menggambarkan lamanya waktu tersedia untuk mencapai konsentrasi puncak dari obat sirkulasi sistemik. Parameter ini tergantung pada konstanta absorbs yang menggambarkan permulaan dari level puncak dari respon biologis dan bias digunakan sebagai perkiraan kasar untuk laju absorbsi.
3. Luas daerah di bawah kurva (AUC), merupakan total area di bawah kurva konsentrasi vs waktu yang menggambarkan perkiraan jumlah obat yang berada dalam sirkulasi sistemik. Bila membandingkan suatu formulasi untuk acuan, parameter ini menggambarkan jumlah ketersediaan hayati dan biasa digunakan sebagai perkiraan kasar jumlah obat diabsorbsi. Ketersediaan hayati merupakan suatu penerapan baru yang kegunaannya tidak perlu diragukan lagi. Penerapan ketersediaan hayati berkembang dalam dua arah, yaitu:
1. Farmasi klinik yang berkaitan dengan rasionalisasi keadaan individu penderita, artinya penyesuaian pasologi yang tepat pada setiap penderita, dengan mempertimbangkan perubahan farmakokinetika in vivo, baik karena interaksi obat maupun karena fungsi fisiolagi.
2. Farmasetika yang berkaitan dengan rasionalisasi pengembangan suatu obat, yaitu penyesuaian optimal jalur pemberian obat dan bentuk sediaan terhadap karakteristik farmakokinetika zat aktif.
Kedua arah pengembangan tersebut tercakup dalam lingkup penelitian biofarmasetika dan berkaitan dengan penyesuaian pada kurva profil kadar zat aktif dalam darah penderita dan efek yang diteliti.
Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan:
1. Banyaknya obat yang diabsorbsi dari formulasi sediaan.
2. Kecapatan obat yang diabsorbsi.
3. Lama obat berada dalam cairan biologi atau jaringan dan dikorelasikan dengan respon pasien.
4. Hubungan antara kadar obat dalam darah dan efikasi klinis serta toksisitas.
Metode penilaian ketersediaan hayati
Penelitian ketersediaan hayati pada sukarelawan dapat dilakukan dengan beberapa metode:
a. Metode dengan menggunakan data darah
b. Data urin
c. Data efek farmakologis
d. Data respon klinis
Pemilihan metode bergantung pada tujuan studi, metode analisis untuk penetapan kadar obat dan sifat produk obat. Data darah dan data urin lazim digunakan untuk menilai ketersediaan hayati sediaan obat yang metode analisis zat berkhasiat telah diketahui cara dann validitasnya. Jika cara dan validitasnya belum diketahui dapat digunakan data farmakologi dengan syarat efek farmakologi yang timbul dapat diukur secara kuantitatif, seperti efek pada kecepata denyut jantung atau tekanan darah yang dapat digunakan sebagai indeks ketersediaan hayati obat. Untuk evaluasi ketersediaan hayati menggunakan data respon klinis dapat mengalami perbedaan antar individu akibat farkokinetika dan farmakodinamik obat yang berbeda. Factor farmakodinamik yang berpengaruh meliputi: umur, toleransi obat, interaksi obat dan factor-faktor patofisiologik yang tidak diketahui.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati oabat yang digunakan secara oral:
4. Sifat fisikokimia zat aktif.
Paracetamol merupakan zat kimia yang mempunyai Panjang gelombang maksimum parasetamol dalam larutan dapar fosfat pH 5,8 menghasilkan panjang gelombang 243,8 nm. Pada pembuatan kurva kalibrasi parasetamol dalam larutan dapar pH 5,8 diperoleh persamaan regresi Y = -0,0432 + 0,0595X dan r = 0,9996.


BAB V
KESIMPULAN

Uji yang dilakukan adalah uji disolusi pada tablet parasetamol 500 mg. Monografi tablet parasetamol, Media Disolusi : 900 ml larutan dapar posfat pH 5,8, Alat tipe 2 : 50 rpm, Waktu : 30 menit, dan panjang gelombang ± 243 nm. Toleransi dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80% (Q) C8H9NO2, dari jumlah yang tertera pada etiket.






DAFTAR PUSTAKA

 Anonim. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: DEPKES RI. Hal 649 – 650.
 Ansel.C, Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press. Hal 118 – 124.
 Lachman, L, Lieberman, H, and Kanig, JL. 1989. Teori dan Praktek Farmasi Industri Edisi II. Jakarta: UI Press. Hal 643 – 679.
 Siswandono., Soekarjo, Bambang. 1995. Kimia Medisinal Edisi I. Airlangga University Press. Surabaya.

Selasa, 15 Desember 2009

Monassszzz.....



malam minguan di monas bersama temen-temen Kost....

jalan-jalan murah tapi seru coyy.....

Sabtu, 07 November 2009

Patung Gajah

pinginnaek di atas gajah, berhubung ga ada gajah yang mau di naekin... akhirnya naek di atas patung gajah..hehehhe

Jalan-jalan

Renang



Asyik... libur akhir semester ke Anyer.. kena amnesia ringan...

Huuh.. sungguh pengalaman yang bikin takut..

tapi ada temenyang kecelakaan,

Anyer...


Jumat, 09 Oktober 2009

Di bawah Pohon Ceri




Apa tuch ngelingker putih di jarinya....

jadi enak liatnya.. he.. he.. da tunangan nich...

klo da resmi ngundang2 ya....


SEMUA TELAH BERLALU DAN BERUBAH MENJADI KISAH YANG SURAM

di Bawah pohon Mangga...




Duch... Ini semoga selalu bersama....


amien

Kamis, 04 Juni 2009

Karang Bolong




Habis renang, narzis dulu di karang bolong..

secara setahun sekali juga ga ke anyer choy...

Rabu, 27 Mei 2009

lg pusing




addduuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuhhhhhhhhhhhh

Jumat, 17 April 2009

Arif - Eko - Obie



pagi yang indah, aku berada di tempat yang tinggi dan dekat dengan pegunungan..

sunggu Agung dan Besar Kuasa ALLAH...

DINGIN cHoy



puncak lagi-puncak lagi..

dingin-dingin eh si Obie pesen Es teh di warung.

Senin, 13 April 2009



persahabatan yang tak bisa dipisahkan walau terhempas badai..

itulah persahabtan yang sejati,....

suka, duka slalu ada...

itulah sahabat...


aduh lupaah ..


me..

Praktikum



lagi praktikum cara mensintesa obat...


kita lagi bikin metil salisilat...


aq bikin metil salisilat 3 jam...

Minggu, 12 April 2009

Rumah GedE H. Dari



Obie ama icha lagi di rumah gede H Dari,

eh ade gede icha di belakang kina'an...

icha blum mandek pecaknye... ih busuuk

malu ach...

Sabtu, 11 April 2009



aduh guanteng nya yach...


(ih kepedean, muji dirisendiri,,, mang ci klo ga muji sendiri siapa lagi he..he..he

Selasa, 24 Maret 2009

ANTI VIRUS

Obat AntiVirus

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Virus ( Sansk, visham = racun ) adalah mikroorganisme hidup yang terkecil ( besarnya 20-300 mikron ), kecuali prion, yaitu virus penyebab penyakit sapi gila BSE dan p. Creutzfeldt-Jakob yang k.l. 100 kali lebih kecil. Virus hanya dapat dilihat dengan mikroskop-elektron ( dengan pembesaran maksimal 200.000 kali ) dan tidak dengan mikroskop biasa ( dengan pembesaran maksimal 4.000 kali ).

Virus adalah jasad biologis, bukan hewan, bukan tanaman, tanpa struktur sel dan tidak berdaya untuk hidupdan memperbanyak diri secara mandiri. Virus merupakan parasit yang hanya dapat hidup di dalam sel-sel yang dimasukinya. Di situ virus memperbanyak diri dengan jalan mengambil-alih seluruh metabolismenya. Akhirnya, sel-sel tersebut mati.

Virus hanya dapat ditanggulangi oleh antibodies selama masih berada di dalam darah. Bila virus sudah masuk ke dalam sel, segera system-interferon dengan khasiat antiviralnya turun tangan, lazimnya dalam beberapa jam setelah dimulainya infeksi. Interferon adalah protein yang dibentuk oleh sel-sel terinfeksi virus dengan maksud melindungi sel-sel lain terhadap penyebaran infeksi .

Virus tidak bisa membiak lagi dalam sel-sel yang telah berkontak dengan interferon. Selama bertahun – tahun terdapat anggapan bahwa sangatlah sulit untuk mendapatkan kemoterapi antivirus dengan selektivitas yang tinggi. Siklus replikasi virus yang dianggap sangat mirip dengan metabolisme normal manusia menyebabkan setiap usaha untuk menekan reproduksi virus juga dapat membahayakan sel yang terinfeksi.

Bersamaan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan pengertian yang lebih dalam mengenai tahap-tahap spesifik dalam replikasi virus sebagai target kemoterapi antivirus, semakin jelas bahwa kemoterapi pada infeksi virus dapat dicapai dan reproduksi virus dapat ditekan dengan efek yang minimal pada sel hospes.

Siklus replikasi virus secara garis besar dapat dibagi menjadi 10 langkah: adsorpi virus ke sel (pengikatan , attachment), penetrasi virus ke sel, uncoating (dekapsidasi), transkripsi tahap awal, translasi tahap awal, replikasi genom virus, trankripsi tahap akhir, assembly virus dan penglepasan virus. HIV juga mengalami tahapan-tahapan diatas dengan beberapa modifikasi yaitu pada transkripsi awal (tahap4) yang diganti dengan reverse transcription; translasi awal (tahap5) diganti dengan integrasi; dan tahap akhir (assembly dan penglepasan) terjadi bersamaan sebagai proses “ budding “ dan diikuti dengan maturasi virus. Semua tahap ini dapat menjadi target intervensi kemoterapi.


Selain dari pada tahapan yang spesifik pada replikasi virus, ada sejumlah enzim hospes dan proses-proses yang melibatkan sel hospes yang berperan dalam sintesis protein virus. Semua proses ini juga dapat dipertimbangkan sebagai target kemoterapi antivirus.

B. Tujuan

• Dapat mengetahui pengertian dan mekanisme kerja antivirus.
• Dapat mengetahui penggolongan obat – obat antivirus.


C. Manfaat

Makalah ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa yang sedang dalam proses pembelajaran kerja obat-obat antivirus.










BAB II
PEMBAHASAN

Empat golongan antivirus yang akan dibahas dalam dua bagian besar pembahasan yaitu mengenai antinonretrovirus dan antiretrovirus. Klasifikasi penggolongan obatantvirus adalah :
1. Antinonretovirus
- Antivirus untuk herpers
- Antivirus untuk influenza
- Antivirus untuk HBV dan HCV
2. Antiretrovirus
- Nukleuside reverse transcriptase inhhibiror (NRTI)
- Nukleuside reverse transcriptase inhhibiror (NtRTI)
- NNRTI (non neokleoside reverse transcriptase inhibitor)
- Protease inhibitor (PI)
- Viral entry inhibitor.

GOLONGAN OBAT ANTI NONRETROVIRUS

1. ANTIVIRUS UNTUK HERPES

Virus hervers dihubungkan dengan spectrum luas penyakit-penyakit, yaitu bisul dingin, essence valitis, dan infeksi genital, yang terakhir merupakan bahaya untuk bayi baru lahir selama persalinan. Obat-obat yang efektif terhadap virus ini bekerja selama fase akut infeksi virus dan tidak memberikan efek pada fase laten. Kecuali foskarnet, obat-obat tersebut adalah analokpurin atau pirimidin yang menghambat sintesis virus DNA.

A. Asiklovir

Asiklovir merupakan obat antivirus yang paling banyak digunakan karena efektif terhadap virus hervers.

1. Mekanisme kerja : Asiklovir, suatu analog guanosin yang tidak mempunyai gugs glukosa, mengalami monofosforilasi dalam sel oleh enzim yang di kode hervers virus, timidin kinase. Karena itu, sel-sel yang di infeksi virus sangat rentan. Analok monofofat diubah ke bentuk di-dan trifosfat oleh sel pejamu. Trifosfat asiklovir berpacu dengan deoksiguanosin trifosfat (dGTP) sebagai suatu subsrat untuk DNA polymerase dan masuk ke dalam DNA virus yang menyebabkan terminasi rantai DNA yang premature. Ikatan yan irrevelsibel dari template primer yang mengandung aseklopir ke DNA polymerase melumpuhkan enzim. Zat ini kurang efektif terhadap enzim penjamu.

2. Resistensi: Timidin kinase yang sudah berubah atau berkurang dan polymerase DNA telah ditemukan dalam beberapa strain virus yang resisten. Resistensi terhadap asiklovir disebabkan oleh mutasi pada gen timidin kinase virus atau pada gen DNA polymerase.

mekanisme kerja analog purin dan pirimidin : asiklovir dimetabolisme oleh enzim kinase virus menjadi senyawa intermediet. Senyawa intermediet asiklovir(dan obat obat seperti idosuridin, sitarabin,vidaradin, dan zidovudin) dimetabolisme lebih lanjut oleh enzim kinase sel hospes menjadi analog nukleotida, yang bekerja menghambat replikasi virus.

3. Indikasi : infeksi HSV-1 dan HSV-2 baik local maupun sistemik (termasuk keratitis herpetic, herpetic ensefalitis, herpes genitalia, herpes neonatal, dan herpes labialis.) dan infeksi VZV(varisela dan herpes zoster). Karena kepekaan asiklovir terhadap VZV kurang dibandingkan dengan HSV, dosis yang diperlukan untuk terapi kasus varisela dan zoster lebih tinggi daripada terapi infeksi HSV.

4. Dosis : untuk herpes genital : 5Xsehari 200mg tablet, sedangkan untuk herpes zoster ialah 4x400mg sehari.penggunaan topical untuk keratitis herpetic adalah dalam bentuk krim ophthalmic 3% dank rim 5% untuk herpes labialis. Untuk herpes ensefalitis, HSV berat lain nya dan infeksi VZV digunakan asiklovir intravena 30mg/kgBB perhari.

5. Farmakokinetik : pemberian obat bisa secara intravena, oral atau topical. Efektivitas pemberian topical diragukan.obat tersebar keseluruh tubuh,termaksuk cairan serebrospinal.asiklovir sebagian dimetabolisme menjadi produk yang tidak aktif.Ekskresi kedalam urine terjadi melalui filtrasi glomerular dan sekresi tubular.

6. Efek samping : Efek samping tergantung pada cara pemberian. Misalnya, iritasi local dapat terjadi dari pemberian topical; sakit kepala; diare; mual ;dan muntah merupakan hasil pemberian oral , gangguan fungsi ginjal dapat timbul pada dosis tinggi atau pasien dehidrasi yang menerima obat secara intravena.



B. Gansiklovir

Gansiklovir berbeda dari asiklovir dengan adanya penambahan gugus hidroksimetil padaposisi 3’ rantai samping asikliknya.metabolisme dan mekanisme kerjanya sama dengan asiklovir. Yang sedikit berbeda adalah pada gansiklovir terdapat karbon 3’ dengan gugus hidroksil, sehingga masih memunginkan adanya perpanjangan primer dengan template jadi gansiklovir bukanlah DNA chain terminator yang absolute seperti asklovir.

1. Mekanisme kerja : Gansiklovir diubah menjadi ansiklovir monofosfat oleh enzim fospotranverase yang dihasilkan oleh sel yang terinveksi sitomegalovirus.gansiklovirmonofospat merupakan sitrat fospotranverase yang lebih baik dibandingkan dengan asiklovir. Aktu paruh eliminasi gangsiklovir ktrifospat sedikitnya 12 jam, sedangkan asiklovir hanya 1-2 jam.perbedaan inilah yang menjelaskan mengapa gansiklovi lebih superior dibandingkan dengan asiklovir untuk terapi penyakit yang disebabkan oleh sitomegalovirus.

2. Resistensi : Sitomegalovirus dapat menjadi resisten terhadap gansiklovir oleh salah satu dari dua mekanisme.penurunan fosporilasi gansiklovir karena mutasi pada fospotranverase virus yang dikode oleh gen UL97 atau karena mutasi pada DNA polymerase virus.varian virus yang sangat resisten pada gansiklovir disebabkan karena mutasi pada keduanya( Gen UL97 dan DNA polymerase ) dan dapat terjadi resistensi silang terhadap sidofovir atau foskarnet.


3. Indikasi : Infeksi CMV, terutama CMV retinitis pada pasien immunocompromised ( misalnya : AIDS ), baik untuk terapi atau pencegahan.

4. Sediaan dan Dosis : Untuk induksi diberikan IV 10 mg/kg per hari ( 2 X 5 mg/kg, setiap 12 jam) selama 14-21 hari,dilanjutkan dengan pemberian maintenance peroral 3000mg per hari ( 3 X sehari 4 kapsul @ 250 mg ). Inplantsi intraocular ( intravitreal ) 4,5 mg gnsiklovir sebagai terapi local CMV retinitis.

5. Efek samping : mielosupresi dapat terjadi pada terapi dengan gansiklovir. Neotropenia terjadi pada 15-40 % pasien dan trombositopenia terjadi pada 5-20 %. Zidovudin dan obat sitotoksik lain dapat meningkatkan resiko mielotoksisitas gansiklovir. Obat-obat nefrotoksik dapat mengganggu ekskresi gansiklovir. Probenesit dan asiklovi dapat mengurangi klirens renal gansiklovir. Rekombinan koloni stimulating factor ( G-CSF, filgastrim, lenogastrim) dapat menolong dalam penanganan neutropenia yang disebabkan oleh gansiklovir.


C. Famsiklovir

Suatu analog asiklik dari 2’ deoksiguanosin, merupakan prodruk yang dimetabolisme menjadi siklovir aktif. Spectrum antivirus sama dengan gansiklovir tetapi wakyu ini disetujui hanya untuk pengobatan herpes zoster akut. Obat efektif peroral.

Efek samping termasuk sakit kepala dan mual.penelitian pada hewan percobaan menujukan peningkatan terjadinya adenokarsinoma mamae dan toksisitas testicular.



D. Foskarnet

Tidak seperti kebanyakan obat antivirus lainnya, foskarnet bukan analog purin atau pirimidin, obat ini adalah fosfonoformat, suatu derivate pirofosfat. Meskipun aktivitas antivirus in vitro cukup luas, disetujui hanya sebagai pengobatan retinitis sitomegalic pada pasien penderita HIV dengan tanggap imun yang lemah terytama jika infeksi tersebut resisiten terhadap gansiklovir. Foskarnet bekerja dengan menghamabat polimerese DNA & RNA secara reversible, yang mengakhiri elongasi rantai.

Mutasi struktur polymerase menyebabkan resistensi virus. Foskarnet sukar diabsorpsi peroral harus disuntikan intravena, dan perlu diberikan berulang untuk menghindari relaps jika kadarnya turun. Tersebat merata di seluruh tubuh. Lebih dari 10% masuk matriks tulang yang secara lambat dilepaskan. Obat asli dikeluarkan oleh glamerolus dan sekresi tubular masuk urine.

Efek samping termasuk nefrotoksisitas,anemia,mual dan demam. Karena kelasi dengan kation divalent, hipokalsemia,hipomagnesemia juga terjadi selain itu hipokalemia,hipofospatemia,kejang, dan aretmia juga pernah dilaporkan.

E. Trifluridin

Trifluridin telah menggantikan obat terdahulu, idoksuridin, pada pengobatan topical keratokonjungtivitis yang disebabkan virus herpes simpleks. Seperti idoksuridin, analog pirimidin ini masuk dalam DNA virus dan menghentikan fungsinya.

2. ANTIVIRUS UNTUK INFLUENZA

Pengobatan untuk infekksi antivirus pada saluran pernapasan termasuk influenza tipe A & B, virus sinsitial pernapasan (RSV).




A. Amantadin dan Rimantadin

Amantadin & rimantadin memiliki mekanisme kerja yang sama. Efikasi keduanya terbatas hanya pada influenza A saja.

1. Mekanisme kerja : Amanatadin dan rimantadin merupakan antivirus yang bekerja pada protein M2 virus, suatu kanal ion transmembran yang diaktivasi oleh pH. Kanal M2 merupakan pintu masuk ion ke virion selama proses uncoating. Hal ini menyebabkan destabilisasi ikatan protein serta proses transport DNA virus ke nucleus. Selain itu, fluks kanal ion M2 mengatur pH kompartemen intraseluler, terutama aparatus Golgi.

2. Resistensi : Influenza A yang resisten terhadap amantadin dan rimantidin belum merupakan masalah klinik, meskipun beberapa isolate virus telah menunjukkan tingginya angka terjadinya resistensi tersebut. Resistensi ini disebabkan perubahan satu asam amino dari matriks protein M2, resistensi silang terjadi antara kedua obat.

3. Indikasi : Pencegahan dan terapi awal infeksi virus influenza A ( Amantadin juga diindikasi untuk terapi penyakit Parkinson ).

4. Farmakokinetik : Kedua obat mudah diabsorbsi oral. Amantadin tersebar ke seluruh tubuh dab mudah menembus ke SSP. Rimantadin tidak dapat melintasi sawar darah-otak sejumlah yang sama. Amantadin tidak dimetabolisme secara luas. Dikeluarkan melalui urine dan dapat menumpuk sampai batas toksik pada pasien gagal ginjal. Rimantadin dimetabolisme seluruhnya oleh hati. Metabolit dan obat asli dikeluarkan oleh ginjal.

5. Dosis : Amantadin dan rimantadin tersedia dalam bentuk tablet dan sirup untuk penggunaan oral. Amantadin diberikan dalam dosis 200 mg per hari ( 2 x 100 mg kapsul ). Rimantadin diberikan dalam dosis 300 mg per hari ( 2 x sehari 150 mg tablet ). Dosis amantadin harus diturunkan pada pasien dengan insufisiensi renal, namun rimantadin hanya perlu diturunkan pada pasien dengan klirens kreatinin ≤ 10 ml/menit.

6. Efek samping : Efek samping SSP seperti kegelisahan, kesulitan berkonsentrasi, insomnia, hilang nafsu makan. Rimantadin menyebabkan reaksi SSP lebih sedikit karena tidak banyak melintasi sawar otak darah. Efek neurotoksik amantadin meningkat jika diberikan bersamaan dengan antihistamin dan obat antikolinergik/psikotropik, terutama pada usia lamjut.


B. Inhibitor Neuraminidase ( Oseltamivir, Zanamivir )

Merupakan obat amtivirus dengan mekanisme kerja yang sam terhadap virus influenza A dan B. Keduanya merupakan inhibitor neuraminidase; yaitu analog asam N-asetilneuraminat ( reseptor permukaan sel virus influenza ), dan disain struktur keduanya didasarkan pada struktur neuraminidase virion.

1. Mekanisme kerja : Asam N-asetilneuraminat merupakan komponen mukoprotein pada sekresi respirasi, virus berikatan pada mucus, namun yang menyebabkan penetrasi virus ke permukaan sel adalah aktivitas enzim neuraminidase. Hambatan terhadap neuraminidase mencegah terjadinya infeksi. Neuraminidase juga untuk penglepasan virus yang optimaldari sel yang terinfeksi, yang meningkatkan penyebaran virus dan intensitas infeksi. Hambatan neuraminidase menurunkan kemungkinan berkembangnya influenza dan menurunkan tingkat keparahan, jika penyakitnya berkembang.

2. Resistensi : Disebabkan adanya hambatan ikatan pada obat dan pada hambatan aktivitas enzim neuraminidase. Dapat juga disebabkan oleh penurunan afinitas ikatan reseptor hemagglutinin sehingga aktivitas neuraminidase tidak memiliki efek pada penglepasan virus pada sel yang terinfeksi.

3. Indikasi : Terapi dan pencegahan infeksi virus influenza A dan B.

4. Dosis : Zanamivir diberikan per inhalasi dengan dosis 20 mg per hari ( 2 x 5 mg, setiap 12 jam )selama 5 hari. Oseltamivir diberikan per oral dengan dosis 150 mg per hari ( 2 x 75 mg kapsul, setiap 12 jam ) selama 15 hari. Terapi dengan zanamivir /oseltamivir dapat diberikan seawal mungkin, dalam waktu 48 jam, setelah onset gejala.

5. Efek samping : Terapi zanamivir : gejala saluran nafas dan gejala saluran cerna., dapat menimbulkan batuk, bronkospasme dan penurunan fungsi paru reversibel pada beberapa pasien. Terapi oseltamivir : mual, muntah, nyeri abdomen , sakit kepala.

C. Ribavirin

Ribavirin merupakan analog sintetik guanosin, efektif terhadap virus RNA dan DNA.

1. Mekanisme kerja : Ribavirin merupakan analog guanosin yang cincin purinnya tidak lengkap. Setelah mengalami fosforilasi intrasel , ribavirin trifosfat mengganggu tahap awal transkripsi virus, seperti proses capping dan elongasi mRNA serta menghambat sintesis ribonukleoprotein.

2. Resistensi : Hingga saat ini belum ada catatan mengenai resistensi terhadap ribavirin, namun pada percobaan diLaboratorium menggunakan sel, terdapat sel-sel yang tidak dapat mengubah ribavirin menjadi bentuk aktifnya.

3. Spektrum aktivitas : Virus DNA dan RNA, khusunya orthomyxovirus ( influenza A dan B ), para myxovirus ( cacar air, respiratory syncytialvirus (RSV) dan arenavirus ( Lassa, Junin,dll ).

4. Indikasi : Terapi infeksi RSV pada bayi dengan resiko tinggi. Ribavirin digunakan dalam kombinasi dengan interferon-α/ pegylated interferon – α untuk terapi infeksi hepatitis C.

5. Farmakokinetik : Ribavirin rfektif diberikan per oral dan intravena. Terakhir digunakan sebagai aerosol untuk kondisi infeksivirus pernapasan tertemtu, seperti pengobatan infeksi RSV. Penelitian distribusi obat pada primate menunjukkan retensi dalam semua jaringan otak. Obat dan metabolitnya dikeluarkan dalam urine.

6. Dosis : Per oral dalam dosis 800-1200 mg per hari untuk terapi infeksi HCV/ dalam bentuk aerosol ( larutan 20 mg/ml ).

7. Efek samping : Pada penggunaan oral / suntikan ribavirin termasuk anemia tergantung dosis pada penderita demam Lassa. Peningkatan bilirubin juga telah dilaporkan Aerosol dapat lebih aman meskipun fungsi pernapasan pada bayi dapat memburuk cepat setelah permulaan pengobatan aerosoldan karena itu monitoring sangat perlu. Karena terdapat efek teratogenikpada hewan percobaan, ribavirin dikontraindikasikan pada kehamilan.

3. ANTIVIRUS UNTUK HBV DAN HCV

A. Lamivudin

1. Mekanisme kerja : Merupakan L-enantiomer analog deoksisitidin. Lamivudin dimetabolisme di hepatositmenjadi bentuk triposfat yang aktif. Lamivudin bekerja dengan cara menghentikan sintesis DNA, secara kompetitif menghambat polymerase virus. Lamivudin tidak hanya aktif terhadao HBV wild-type saja, namun juga terhadap varian precorel core promoter dan dapat mengatasi hiperresponsivitas sel T sitotoksik pada pasien yang terinfeksi kronik.

3. Resistensi : disebabkan oleh mutasi pada DNA polymerase virus.

4. Indikasi : Infeksi HBV ( wild-type dan precore variants).

5. Farmakokinetik : Bioavailabilitas oral lamivudin adalah 80% C max tercapai dalam 0,5-1,5 jam setelah pemberian dosis. Lamivudin didistribusikan secara luas dengan Vd setara dengan volume cairan tubuh. Waktu paruh plasmanya sekitar 9 jam dan sekitar 70% dosis diekskresikan dalam bentuk utuh di urine. Sekitar 5% lamivudin dimetabolisme menjadi bentuk tidak aktif. Dibutuhkan penurunan dosis untuk insufisiensi ginjal sedang ( CLcr <50 ml /menit ). Trimetoprim menurunkan klirens renal lamivudin.

6. Dosis : Per oral 100 mg per hari ( dewasa ), untuk anak-anak 1mg/kg yang bila perlu ditingkatkan hingga 100mg/hari. Lama terapi yang dianjurkanadalah 1 tahun pada pasien HBeAg (-) dan lebih dari 1 tahun pada pasien yang HBe(+).

7. Efek Samping : mual, muntah, sakit kepala, peningkatan kadar ALT dan AST dapat terjadi pada 30-40% pasien.

B. Adefovir

1.Mekanisme kerja dan resistensi : adefovir merupakan analog nukleotida asiklik. Adefovir telah memiliki satu gugus fosfat dan hanya membutuhkan satu langkah fosforilasi saja sebelum obat menjadi aktif. Adefovir merupakan penghambat replikasi HBV sangat kuat yang bekerja tidak hanya sebagai DNA chain terminator, namun juga meningkatkan aktivitas sel NK dan menginduksi produksi interferon endogen.

2.Spektrum aktivitas : HBV, HIV, dan retrovirus lain. Adefovir juga aktif terhadap virus herpes.

3.Indikasi : Adefovir terbukti efektif dalam terapi infeksi HBV yang resisten terhadap lamivudin.

4.Farmakokinetik : Adefovir sulit diabsorbsi, namun bentuk dipivoxil prodrugnya diabsorbsi secara cepat dan metabolisme oleh esterase di mukosa usus menjadi adefovir dengan bioavailibilitas sebesar 50%. Ikatan protein plasma dapat diabaikan, Vd setara dengan cairan tubuh total. Waktu paruh eliminasi setelah pemberian oral adefovir dipivoxil sekitar 5-7 jam. Adefovir dieliminasi dalam keadaan tidak berubah oleh ginjal melalui sekresi tubulus aktif.

5.Dosis : Per oral dosis tinggal 10 mg per hari.

6.Efek samping : Adefovir 10mg/hari dapat ditoleransi dengan baik. Setelah terapi selama 48 minggu terjadi peningkatan kreatinin serum ≥ 0,5 mg/dL di atas baseline pada 13% pasien yang umumnya memiliki factor resiko disfungsi renal sejak awal terapi.


C. Entekavir

1.Mekanisme kerja dan resistensi : Entekavir merupakan analog deoksiguanosin yang memiliki aktivitas anti-hepadnavirus yang kuat. Entekavir mengalami fosforilasi menjadi bentuk trifosfat yang aktif, yang berperan sebagai kompetitorsubstrat natural (deoksiguanosin trifosfat) serta menghambat HBV polymerase.

2.Spektrum aktivitas : Entekavir aktif terhadap CMV, HSV1 dan 2 serta HBV.

3.Indikasi : Infeksi HBV.

4.Farmakokinetik :Entekavir diabsorbi baik per oral. Cmax tercapai antara 0,5-1,5 jam setelah pemberian, tergantung dosis. Entekavir dimetabolisme dalam jumlah kecil dan bukan merupakan substrat system sitokrom P450. T½nya pada pasien dengan fungi ginjal normal adalah 77-149 jam. Entekavir dieliminasi terutama lewat filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus. Tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis pada pasien dengan penyakit hati sedang hingga berat.

5.Dosis : Per oral 0,5 mg/hari dalam keadaan perut kosong, pada pasien yang gagal terapi dengan lamivudin, pemberian entekavir ditingkatkan hingga 1 mg/hari.

6.Efek samping : Sakit kepala, infeksi saluran nafas atas, batuk, nasofaringitis, fatigue, pusing, nyeri abdomen atas dan mual.

D. Interferon
Merupakan glikoprotein yang terjadi alamiah jika ada perangsangan dan menggangugu kemampuan virus menginfeksi sel. Meskipun interferon menghambat pertumbuhan berbagai virus in vitro, aktivitas in vivo pada virus mengecewakan. Pada waktu ini, interferon disintesis dengan teknologi DNA rekombinan. Setidaknya terdapat 3 jenis interferon; alfa, beta, gama. Satu dari 15 jenis α-interferon, α-2b telah disetujui untuk pengobatan hepatitis B dan C. Dan terhadap kanker seperti leukemia sel berambutdan sarcoma Kaposi.

Mekanisme kerja antivirus belum diketahui seluruhnya tetapi menyangkut induksi enzim sel pejamu yang menghambat translasi RNA virus dan akhirnya menyebabkan degadrasi mRNA dan tRNA virus. Interferon diberikan i.v dan masuk ke cairan sum-sum tulang

Efek samping : demam, alergi, depresi sum-sum tulang, gangguan kardiovaskular seperti gagal jantung kongestif dan reaksi hipersensitif akut, gagal hati infiltrasi paru jarang.

GOLONGAN OBAT ANTIRETROVIRUS

1. NUCLEOSIDE REVERSE TRANSCRIPTASE INHIBITOR ( NRTI )

Reverse transkripstase (RT ) mengubah RNA virus menjadi DNA proviral sebelum bergabung dengan kromosom hospes. Karena antivirus golongan ini bekerja pada tahap awal replikasi HIV, obat obat golongan ini menghambat terjadinya infeksi akut sel yang rentan, tapi hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV. Untuk dapat bekerja, semua obat golongan NRTI harus mengalami fosforilasi oleh enzim sel hospes di sitoplasma. Yang termasuk komplikasi oleh obat obat ini adalah asidosilaktat dan hepatomegali berat dengan steatosis.


A. Zidovudin

1. Mekanisme kerja : target zidovudin adalah enzim reverse transcriptase (RT) HIV. Zidovudin bekerja dengan cara menghambat enzim reverse transcriptase virus, setelah gugus asidotimidin (AZT) pada zidovudin mengalami fosforilasi. Gugus AZT 5’- mono fosfat akan bergabung pada ujung 3’ rantai DNA virus dan menghambat reaksi reverse transcriptase.

2. Resistensi : Resistensi terhadap zidovudin disebabkan oleh mutasi pada enzim reverse transcriptase. Terdapat laporan resisitensi silang dengan analog nukleosida lainnya.

3. Spektrum aktivitas : HIV(1&2)

4. Indikasi : infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya(seperti lamivudin dan abakafir)

5. Farmakokinetik : obat mudah diabsorpsi setelah pemasukan oral dan jika diminum bersama makanan, kadar puncak lebih lambat, tetapi jumlah total obat yang diabsorpsi tidak terpengaruh. Penetrasi melewati sawar otak darah sangat baik dan obat mempunyai waktu paruh 1jam. Sebagian besar AZT mengalami glukuronidasi dalam hati dan kemudian dikeluarkan dalam urine.

6. Dosis : Zidovudin tersedia dalam bentuk kapsul 100 mg, tablet 300 mg dan sirup 5 mg /5ml disi peroral 600 mg / hari

7. Efek samping : anemia, neotropenia, sakit kepala, mual.

B. Didanosin

1. Mekanisme kerja : Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

2. Resistensi : Resistensi terhadap didanosin disebabkan oleh mutasi pada reverse transcriptase.

3. Spektrum aktivitas : HIV (1 & 2)

4. Indikasi : Infeksi HIV, terutama infeksi HIV tingkat lanjut, dalam kombinasi anti HIV lainnya.

5. Farmakokinetik : Karena sifat asamnya, didanosin diberikan sebagai tablet kunyah, buffer atau dalam larutan buffer. Absorpsi cukup baik jika diminum dalam keadaan puasa; makanan menyebabkan absorpsi kurang. Obat masuk system saraf pusat tetapi kurang dari AZT. Sekitar 55% obat diekskresi dalam urin.

6. Dosis : tablet & kapsul salut enteric peroral 400 mg / hari dalam dosis tunngal atau terbagi.

7. Efek samping : diare, pancreatitis, neuripati perifer.

C. Zalsitabin

1. Mekanisme kerja : Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

2. Resistensi : Resistensi terhadap zalsitabin disebakan oleh mutasi pada reverse transcriptase. Dilaporkan ada resisitensi silang dengan lamivudin.

3. Spektrum aktivitas : HIV (1 & 2)

4. Indikasi : Infeksi HIV, terutama pada pasien HIV dewasa tingkat lanjut yang tidak responsive terhadap zidovudin dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (bukan zidanudin).

5. Farmakokinetik : Zalsitabin mudah diabsorpsi oral, tetapi makanan atau MALOX TC akan menghambat absorpsi didistribusi obat ke seluruh tubuh tetapi penetrasi ke ssp lebih rendah dari yang diperoleh dari AZT. Sebagai obat dimetabolisme menjadi DITEOKSIURIDIN yang inaktif. Urin adalah jalan ekskresi utama meskipun eliminasi pekal bersama metabolitnya.

6. Dosis : Diberikan peroral 2,25 mg / hari(1 tablet 0,75 mg tiap 8 jam)

7.Efek samping : Neuropati perifer, stomatitis, ruam dan pancreatitis.

D. Stavudin

1. Mekanisme kerja : Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukkan rantai DNA virus.

2. Resistensi : Disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 75 dan kodon 50.

3. Spektrum aktivitas : HIV tipe 1 dan 2

4.Indikasi : Infeksi HIV terutama HIV tingkat lanjut, dikombinasikan dengan antiHIV lainnya.

5. Farmakokinetik : Stavudin adalah analog timidin dengan ikatan rangkap antara karbon 2’ dan 3’ dari gula.Stavudin harus diubah oleh kinase intraselular menjadi triposfat yang menghambat transcriptase reverse dan menghentikan rantai DNA.

6. Dosis : Per oral 80 mg/hari (1 kapsul 40 mg, setiap 12 jam).

7. Efek samping : Neuropati periver, sakit kepala, mual, ruam.

E. Lamivudin

1. Mekanisme kerja : Obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

2. Resistensi : Disebabkan pada RT kodon 184. Terdapat laporan adanya resistensi silang dengan didanosin dan zalsitabin.

3. Spektrum aktivitas : HIV ( tipe 1 dan 2 ) dan HBV.

4. Indikasi : Infeksi HIV dan HBV, untuk infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (seperti zidovudin,abakavir).

5. Farmakokinetik : Ketersediaan hayati lamivudin per oral cukup baik dan bergantung pada ekskresi ginjal.

6. Dosis : Per oral 300 mg/ hari ( 1 tablet 150 mg, 2x sehari atau 1 tablet 300 mg 1x sehari ). Untuk terapi HIV lamivudin, dapat dikombinasikan dengan zidovudin atau abakavir.

7.Efek samping : Sakit kepala dan mual.


F. Emtrisitabin

1. Mekanisme kerja : Merupakan derivate 5-fluorinatedlamivudin. Obat ini diubah kebentuk triposfat oleh ensim selular. Mekanisme kerja selanjutnya sama dengan lamivudin.

2. Resistensi : Resistensi silang antara lamivudin dan emtrisitabin.

3. Indikasi : Infeksi HIV dan HBV.

4. Dosis : Per oral 1x sehari 200 mg kapsul.

5.Efek samping : Nyeri abdomen, diare, sakit kepala, mual dan ruam .

G. Abakavir

1. Mekanisme kerja : bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus

2. Resistensi : Disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 184,65,74 dan 115.

3. Spektrum aktivitas : HIV ( tipe 1 dan 2 ).

4. Indikasi : Infeksi HIV.

6. Dosis : Per oral 600mg / hari ( 2 tablet 300 mg ).

7. Efek samping : Mual ,muntah, diare,reaksi hipersensitif ( demam,malaise,ruam), ganguan gastro intestinal.




2.NUCLEOTIDE REVERSE TRANSCRIPTASE INHIBITOR ( NtRTI )

Tenofovir disoproksil fumarat merupakan nukleutida reverse transcriptase inhibitor pertama yang ada untuk terapi infeksi HIV-1. Obat ini digunakan dalam kombinasi dengan obat anti retrovirus lainnya. Tidak seperti NRTI yang harus melalui tiga tahap fosforilase intraselular untuk menjadi bentuk aktif, NtRTi hanya membutuhkan dua tahap fosforilase saja. Diharapkan berkurangnya satu tahap fosforilase obat dapat bekerja lebih cepat dan konversinya menjadi bentuk aktif lebih sempurna.

Tenofovir Disoproksil

1. Mekanisme kerja : Bekerja pada HIV RT ( dan HBV RT ) dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

2. Resistensi : Disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 65.

3. Spektrum aktivitas : HIV ( tipe 1 dan 2 ), serta berbagai retrovirus lainnya dan HBV.

4.Indikasi : Infeksi HIV dalam kombinasi dengan evafirens, tidak boleh dikombinasi dengan lamifudin dan abakafir.

5. Dosis : Per oral sehari 300 mg tablet.

6.Efek samping : Mual, muntah, Flatulens, dan diare.


3. NON- NUCLEOSIDE REVERSE TRANSCRIPTASE INHIBITOR (NNRTI)

Merupakan kelas obat yang menghambat aktivitas enzim revers transcriptase dengan cara berikatan ditempat yang dekat dengan tempat aktif enzim dan menginduksi perubahan konformasi pada situs akif ini. Semuasenyawa NNRTI dimetabolisme oleh sitokrom P450 sehingga cendrung untuk berinteraksi dengan obat lain.


A. Nevirapin

1. Mekanisme kerja : Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non subtract HIV-1 RT.

2. Resistensi : Disebabkan oleh mutasi pada RT.

3. Spektrum aktivitas : HIV ( tipe 1 ).

4. Indikasi : Infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan anti-HIV,lainnya terutama NRTI.

5. Dosis : Per oral 200mg /hari selama 14 hari pertama ( satu tablet 200mg per hari ), kemudian 400mg / hari ( 2 x 200 mg tablet ).

6. Efek samping : Ruam, demam, fatigue, sakit kepala, somnolens dan peningkatan enzim hati.

B. Delavirdin

1. Mekanisme kerja : Sama dengan devirapin.

2. Resistensi : Disebabkan oleh mutasi pada RT. Tidak ada resistensi silang dengan nefirapin dan efavirens.

3. Spektrum aktivitas : HIV tipe 1.

4. Indikasi : Infeksi HIV-1, dikombinasi dengan anti HIV lainnya terutama NRTI.

5. Dosis : Per oral 1200mg / hari ( 2 tablet 200mg 3 x sehari ) dan tersedia dalam bentuk tablet 100mg.

6. Efek samping : Ruam, penningkatan tes fungsi hati, menyebabkan neutropenia.


C.Efavirenz

1. Mekanisme kerja : Sama dengan neviravin

2. Resistensi : Disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 100,179,181.

3. Spektrum aktivitas : HIV 1

4. Indikasi : Infeksi HIV- 1, dalam kombinasi dengan antiHIV lainnya terutama NRTI dan NtRTI.

5. Dosis : Peroral 600mg/hari (1Xsehari tablet 600mg), sebaiknya sebelum tidur untuk mengurangi efek samping SSP nya.

6.Efek samping : Sakit kepala, pusing, mimpi buruk, sulit berkonsentrasi dan ruam .


4.PROTEASE INHIBITOR ( PI )

Semua PI bekerja dengan cara berikatan secara reversible dengan situs aktif HIV – protease.HIV-protease sangat penting untuk infektivitas virus dan penglepasan poliprotein virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya penglepasan polipeptida prekusor virus oleh enzim protease sehingga dapat menghambat maturasi virus, maka sel akan menghasilkan partikel virus yang imatur dan tidak virulen.

A. Sakuinavir

1. Mekanisme kerja : Sakuinavir bekerja pada tahap transisi merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

2. Resistensi :Terhadap sakuinavir disebabkan oleh mutasi pada enzim protease terjadi resistensi silang dengan PI lainnya.

3. Spektrum aktivitas : HIV (1 & 2)

4. Indikasi : Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lain ( NRTI dan beberapa PI seperti ritonavir).

5. Dosis : Per oral 3600mg / hari (6 kapsul 200mg soft kapsul 3 X sehari ) atau 1800mg / hari (3 hard gel capsule 3 X sehari), diberikan bersama dengan makanan atau sampai dengan 2 jam setelah makan lengkap.

6.Efek samping :Diare, mual, nyeri abdomen.

B. Ritonavir

1. Mekanisme kerja : Sama dengan sakuinavir.

2. Resistensi : Terhadap ritonavir disebabkan oleh mutasi awal pada protease kodon 82.

3. Spektrum aktivitas : HIV (1 & 2 )

4. Indikasi :Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (NRTI dan PI seperti sakuinavir ).

5. Dosis : Per oral 1200mg / hari (6 kapsul 100mg, 2 X sehari bersama dengan makanan )

6.Efek samping : Mual, muntah , diare.

C. Indinavir

1. Mekanisme kerja :Sama dengan sakuinavir.

2. Spektrum aktivitas : HIV (1 & 2 )

3. Indikasi : Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainya seperti NRTI.

4. Dosis : Peroral 2400mg / hari (2 kapsul 400mg setiap 8jam, dimakan dalam keadaan perut kosong, ditambah dengan hidrasi(sedikitnya 1.5L air / hari). Obat ini tersedia dalam kapsul 100,200, 333,dan 400mg.

5. Efek samping : Mual, hiperbilirubinemia, batu ginjal.

D. Nelfinavir

1. Mekanisme kerja : Sama dengan sakuinavir.

2. Resistensi : Terhadap nelfinavir disebabkan terutama oleh mutasi.

3. Spektrum aktivitas : HIV (1 & 2 )

4. Indikasi : Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainya seperti NRTI.

5. Dosis : Per oral 2250 mg / hari (3 tablet 250mg 3 X sehari) atau 2500mg / hari (5 tablet 250mg 2 X sehari )bersama dengan makanan.

6. Efek samping : Diare, mual, muntah.

E. Amprenavir

1. Mekanisme kerja : Sama dengan sakuinavir.

2. Resistensi : Terhadap amprenavir terutama disebabkan oleh mutasi pada protease kodon 50.

3. Spektrum aktivitas : HIV (1 & 2 )

4. Indikasi : Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.


5.Dosis : Per oral 2400mg/ hari (8kapsul 150 mg 2 X sehari, diberikan bersama atau tanpa makanan, tapi tidak boleh bersama dengan makanan.

6. Efek samping : Mual, diare, ruam, parestesia per oral / oral.

F. Lopinavir

1. Mekanisme kerja : Sama dengan sakuanavir.

2. Resistensi : Mutasi yang menyebabkan resistensi terhdap lopinavir belum diketahui hingga saat ini.

3. Spektrum aktivitas : HIV (tipe 1dan 2)

4. Indikasi : Infeksi HIV dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.

5. Dosis : Per oral 1000mg / hari(3kapsul 166.6mg 2 X sehari, setiap kapsul mengandung 133.3mg lopinavir + 33.3mg ritonavir), diberikan bersamaan dengan makanan.

6. Efek samping : Mual, muntah, peningkatan kadar koleterol dan trigliserida,peningkatan y-GT.


G. Atazanavir

1. Mekanisme Kerja : Sama dengan sakuinavir.

2. Spectrum Aktivitas : HIV tipe 1 dan 2.

3. Indikasi : Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan HIV lainnya seperti NRTI.

4. Dosis : Per oral 400 mg per hari (sekali sehari 2 kapsul 200 mg), diberikan bersama dengan makanan.

5. Efek samping : Hiperbilirubinemia, mual, perubahan EKG atau jarang.


5.VIRAL ENTRY INHIBITOR

Enfuvirtid merupakan obat pertama yang masuk ke dalam golongan VIRAL ENTRY INHIBITOR. Obat ini bekarja dengan cara menghambat fusi virus ke sel. Selain enfuvitid ; bisiklam saat ini sedang berada dalam study klinis. Obat ini bekerrja dengan cara menghambat masukan HIV ke sel melalui reseptor CXCR4.

Enfurtid

1.Mekanisme kerja : Menghambat masuknya HIV-1 ke dalam sel dengan cara menghanbat fusi virus ke membrane sel.

2. Resistensi : Perubahan genotif pada gp41 asam amino 36-45 menyebabkan resistensi terhadap enfuvirtid, tidak ada resistensi silang dengan anti HIV golongan lain.

3.Indikasi :Terapi infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan antiHIV-lainnya.

4.Dosis : Enfurtid 90 mg (1ml) 2 kali ssehari diinjeksikan subkutan dengan lengan atas bagian paha enterior atau abdomen.

5.Efek samping : Adanya reaksi local seperti nyeri, eritema, proritus, iritasi dan nodul atau kista.

PENGGUNAAN OBAT ANTIVIRUS

Tujuan utama terapi antivirus pada pasien imonnukompeten adalah menurunkan tingkat keparahan pennyakit dan komplikasinya, serta menurunkan kecepatan transmisi virus, sedangkan paa pasien dengan infeksi virus kronik, tujuan terapinya adalah mencegah kerusakan oleh virus orga visceral, terutama hati, paru, saluran cerna dan SSP.
Antivirus dapat di gunakn untuk prapilaksis, supresi (untuk menjaga agar replikasi virus berada di bawah kecapatan yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada pasien terinfeksi yang asimtomatik).

Beberapa Hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan obat terapi antivirus :
1. Lamanya terapi
2. Peemberian terapi tunggal atau kombinasi
3. Interaksi obat
4. Kemungkinan terjadinya resistensi

HIV-AIDS

Terapi HIV-AIDS dilakukan dengan cara mengkombinasikan beberapa obat untuk mengurangi viral loat atau (jumlah virus dalam darah). Agar menjadi sangat rendah atau dibawah tingkat yang terdeteksi untuk jangka waktu yang lama.

Secara teoritis terapi kombinasi untuk HIV lebih baik dari pada mono terapi karena :
- Menghidari atau menunda resistensi obat atau meluasnya cakupan terhadap virus dan memperlama efek
- Peningkatan efikasi karena adanya efek adiktif atau sinergis.
- Peningkatan target reserpoir jaringan atau sellular(contoh : limposit, makrofak) virus.
- Gangguan pada lebih dari satu fase hidup virus
- Penurunan toxisitas karena dosis yang digunakan lebih rendah.

Walaupun obat retro-virus sudah mennjadi kunci penatalaksanaan HIV-AIDS , ada beberapa keterbataasan, yaitu :
1. Anti-retrovirus tidak mampu sepenuhnya memberantas virus.
2. Jenis HIV yang resisten sering muncul, terutama jika keputusan pasien pada terapi tidak hamper sempurna.
3. Penularan HIV melalui perilaku yang beresiko dapat terus terjadi walaupun viral load tidak terdeteksi.
4. Efeksamping jangka pendek akibat pengobatan sering terjadi mual ringan termasuk anemia, neutropenia, mual, sakit kepala sampai yang berat missal hepatitis akut.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Virus ( Sansk, visham = racun ) adalah mikroorganisme hidup yang terkecil ( besarnya 20-300 mikron ), kecuali prion, yaitu virus penyebab penyakit sapi gila BSE dan p. Creutzfeldt-Jakob yang k.l. 100 kali lebih kecil.

Empat golongan antivirus yang akan dibahas dalam dua bagian besar pembahasan yaitu mengenai antinonretrovirus dan antiretrovirus. Klasifikasi penggolongan obatantvirus adalah :
A. Antinonretovirus
- Antivirus untuk herpers
- Antivirus untuk influenza
- Antivirus untuk HBV dan HCV
B. Antiretrovirus
- Nukleuside reverse transcriptase inhhibiror (NRTI)
- Nukleuside reverse transcriptase inhhibiror (NtRTI)
- NNRTI (non neokleoside reverse transcriptase inhibitor)
- Protease inhibitor (PI)
- Viral entry inhibitor.

Tujuan Terapi Virus adalah menurunkan tingkat keparahan pennyakit dan komplikasinya, serta menurunkan kecepatan transmisi virus, sedangkan paa pasien dengan infeksi virus kronik, tujuan terapinya adalah mencegah kerusakan oleh virus orga visceral, terutama hati, paru, saluran cerna dan SSP.

Secara teoritis terapi kombinasi untuk HIV lebih baik dari pada mono terapi karena :
- Menghidari atau menunda resistensi obat atau meluasnya cakupan terhadap virus dan memperlama efek
- Peningkatan efikasi karena adanya efek adiktif atau sinergis.
- Peningkatan target reserpoir jaringan atau sellular(contoh : limposit, makrofak) virus.
- Gangguan pada lebih dari satu fase hidup virus
- Penurunan toxisitas karena dosis yang digunakan lebih rendah.

Walaupun obat retro-virus sudah mennjadi kunci penatalaksanaan HIV-AIDS , ada beberapa keterbataasan, yaitu :
- Anti-retrovirus tidak mampu sepenuhnya memberantas virus.
- Jenis HIV yang resisten sering muncul, terutama jika keputusan pasien pada terapi tidak hamper sempurna.
- Penularan HIV melalui perilaku yang beresiko dapat terus terjadi walaupun viral load tidak terdeteksi.
- Efeksamping jangka pendek akibat pengobatan sering terjadi mual ringan termasuk anemia, neutropenia, mual, sakit kepala sampai yang berat missal hepatitis akut.







DAFTAR PUSTAKA

- Farmakologi dan terapi ed.5 FKUI 2007 jakarta.

- Drs.Tan Hoan Tjay dan Drs. Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting ed. 6 depkes RI. Jakarta.

- Mary J. Mycek, Ph.D. dkk. 1995. Ed. 2. Farmakologi Ulasan bergambar. Jakarta.

Ekstrak Jahe

EKSTRAK JAHE

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jahe (Zingiber officinale Rosc.) adalah tanaman rempah dan obat yang sudah lama dikenal masyarakat Indonesia. Selain digunakan sebagai bumbu penyedap masakan dan ramuan tradisional, tanaman ini juga menjadi komoditas perdagangan sebagai bahan industri obat-obatan, kosmetik, minuman, makanan ringan dan kebutuhan dapur (Suharyon dan Rozak, 1997). Jahe Indonesia diekspor ke beberapa negara tujuan antara lain Jepang, Emirat Arab, Malaysia dan banyak negara lainnya dalam bentuk jahe segar, jahe kering dan olahan (Paimin dan Murhananto, 1999).
Jahe dikenal baik di masyarakat Indonesia sebagai salah satu rempah. Hampir semua wilayah di tanah air umumnya memanfaatkan jahe sebagai salah satu bahan masakan penting. Dalam taksonomi tanaman, jahe (Zingiber officinale) termasuk dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, klas Monocotyledonae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, dan genus Zingiber.
Genus Zingiber sendiri terdiri dari sekitar 100 spesies, yang tersebar di daratan tropis Asia, di antaranya yang banyak memiliki manfaat adalah Zingiber officinale atau yang kita kenal sebagai Jahe, Zingiber zerumbet (lempuyang gajah), Zingiber aromaticum (lempuyang wangi), dan Zingiber purpureum yang kita kenal sebagai bangle.
Jahe dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan ginger, ada dalam bahasa Bengali, jeung, ciang, atau jiang dalam bahasa Cina, zenzero dalam bahasa Italia, dan jengibre dalam bahasa Spanyol. Di beberapa daerah di Indonesia juga dikenal dengan sebutan aliah (Sumatra), jahi (lampung), jae (Jawa, sasak), jhai (Madura), cipakan (Bali), sipados (Kutai), dan pese (Bugis).
Menurut data dari Bagian Riset dan Pengembangan PT Sido Muncul, jahe mengandung satu sampai empat persen minyak atsiri dan oleoresin. Komposisi minyak yang terkandung bervariasi tergantung dari geografi tanaman berasal. Kandungan utamanya yaitu zingiberene, arcurcumene, sesquiphellandrene, dan bisabolene. Juga memiliki kandungan Zingiberol, Zingiberene, Phellandrene, Curcumene, Borneol, Champhene, Citral, Garanial, Galanolactone, Furanogermenone, Pipecolic Acid, Aspartic Acid, Glutamic Acid, dll.
Secara tradisional jahe digunakan sebagai peluruh dahak atau obat batuk, peluruh keringat, peluruh angin perut, diare, dan pencegah mual. Baik untuk menghilangkan mual dan kembung karena perjalanan jauh (mabuk darat, mabuk udara, atau mabuk laut) bahkan pada beberapa buku teks pengobatan menganjurkan wanita hamil agar mengonsumsi jahe untuk menghilangkan rasa mual dan muntah selama kehamilan. Pembuktian ilmiah telah dilakukan di Inggris yang menunjukkan jahe efektif mengurangi mual bahkan mual yang timbul setelah operasi.
Penelitian di Denmark membuktikan bahwa pemberian jahe pada pasien rematik dan gangguan muskuloskleletal sangat bermanfaat dalam menghilangkan nyeri dan gejala yang berhubungan dengan rematik. Beberapa pengujian telah memberikan hasil yang baik dengan menghilangnya rasa nyeri, sakit serta peradangan/pembengkakan. Dan, pada percobaan in vitro, jahe Indonesia ternyata mengandung bahan antirhinovirus yaitu beta-sesquiphelandrone.
Diketahui bahwa rhinovirus adalah salah satu virus penyebab utama penyakit common cold atau influenza.
Kalau diperhatikan banyak obat-obat OTC (obat bebas) yang beredar baik di Indonesia maupun di Eropa mengandung ekstrak Jahe. Mengunyah jahe dapat merangsang pengeluaran air liur dan cairan pencernaan, juga mengurangi mual dan muntah.
Tradisi ngemut jahe ini tetap dilakukan sampai sekarang pada beberapa tukang masak profesional Cina yang selalu mengunyah jahe untuk mencegah terjadinya mual karena terpapar dalam waktu lama dengan bau masakan yang kuat.
Jahe bisa dikonsumsi dalam bentuk teh untuk memperbaiki pencernaan, menghilangkan gas dalam saluran pencernaan, dan merangsang nafsu makan.



B. Identifikasi Masalah
Identifikasi Masalah dari praktikum ini adalah:
1. Dapatkah dilakukan berbagai uji pendahuluan pada rimpang jahe untuk mengetahui kandungan senyawa aktifnya?
2. Zat aktif apakah yang terdapat pada rimpang jahe?
3. Dapatkah rimpang jahe diekstraksi dengan cara dimaserasi?
4. Dapatkah maserat rimpang jahe difraksinasi dengan cara corong pisah?
5. Dapatkah maserat rimpang jahe dipisah-pisahkan menjadi partisi-partisinya dengan cara kromatografi kolom?
6. Mengidentifikasi adanya zat kimia dalam jamu ?

C. Pembatasan masalah
Praktikum ini dibatasi pada uji identifikasi kandungan zat aktif yang terdapat pada rimpang jahe.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimanakah uji pendahuluan pada rimpang jahe untuk mengetahui kandungan senyawa aktifnya?
2. Apakah ekstrak rimpang jahe dapat dipisah-pisahkan menjadi fraksi-fraksi yang terpisah?
3. Kandungan kimia apakah yang terdapat dalam rimpang jahe?
4. Mengidentifikasi adanya zat kimia dalam jamu ?

E. Tujuan Praktikum
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui kandungan kimia apakah yang terdapat dalam rimpang jahe.
b. Mengidentifikasi adanya zat kimia dalam jamu ?

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui apakah ekstrak rimpang jahe dapat dipisah-pisahkan menjadi fraksi-fraksi yang terpisah.
b. Bagaimanakah uji pendahuluan pada rimpang jahe untuk mengetahui kandungan senyawa aktifnya?

F. Manfaat Praktikum
Hasil praktikum ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. Masyarakat
a. memberikan informasi ilmiah tentang manfaat tanaman obat yang bermanfaat bagi ksehatan.
b. Untuk dijadikan masukan dan penambahan pengetahuan masyarakat tentang kandungan dan penggunaan rimpang jahe sebagai alternatif dalam pengobatan tradisional.
2. Penulis
Untuk menambah pengetahuan dan pengalaman tentang penggunaan obat-obatan tradisional terutama rimpang jahe sebagai alternatif dalam pengobatan tradisional.
3. Pengembangan Ilmu
Sebagai khasanah perpustakaan dan referensi bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian tentang penggunaan jahe sebagai obat tradisional.












BAB II
KERANGKA TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Klasifikasi tanaman jahe (Zingiber officinale)
a. Sistematika tumbuhan
• Divisi : Pteridophyta
• Sub divisi : Angiosperma
• Kelas : Monocotyledoneae
• Bangsa : Scitamineae
• Suku : Zingiberaceae
• Marga : Zingeber
• Jenis : Zingiber officinale

b. Karakteristik tanaman
• Tanaman tumbuh tegak dengan tinggi mencapai 0,4 – 1 m
• Berumur tahunan
• Batangnya merupakan batang semu yang tersusun dari helaian daun, berbentuk ramping, bulat dan agak lunak
• Jahe tumbuh tegak dan merumpun

c. Morfologi
 Daun dan Bunga
• Daunnya berbentuk langsing membulat dengan ujung melancip
• warna hijau tua dengan pertulangan daun berwarna lebih muda yang terlihat jelas
• Pertumbuhan daunnya menyirip berseling
• Bunga keluar dari permukaan tanah, muncul dari rimpang samping bila tanaman sudah cukup dewasa
• Tinggi bunga biasanya hanya seperempat kali tinggi tanaman.
• Tandan bunga terdiri atas kumpulan bunga-bunga kecil berbetuk kerucut.
• Warna bunga putih kekuningan

 Rimpang
• Akarnya berbentuk rimpang, berbau harum dan pedas
• Rimpang jahe bercabang rapat, panjang membulat agak pendek. Rimpang jahe bercabang rapat, panjang membulat agak pendek.
• Kulit luar rimpang berwarna cokelat kotor
• Jika rimpang dibelah, tampak daging rimpang berwarna kuning, beraroma khas jahe yang tajam dan agak pedas.
• Rimpang jehe emprit terlihat lebih merah dibandingkan jahe biasa

 Berdasarkan aroma, bentuk dan besarnya rimpang dikenal tiga jenis jahe :
• jahe besar, jahe gajah atau jahe badak,
• jahe kecil atau lebih sering disebut jahe emprit
• jahe merah atau lebih dikenal dengan jahe sunti

d. Nama Daerah
Begitu akrabnya kita, sehingga tiap daerah di Indonesia mempunyai sebutan sendiri-sendiri bagi jahe. Nama-nama daerah bagi jahe tersebut antara lain halia (Aceh), bahing (Batak karo), sipadeh atau sipodeh (Sumatera Barat), Jahi (Lampung), jae (Jawa), Jahe (sunda), jhai (Madura), pese (Bugis), lali (Irian), dan sipados (Kutai).

e. Kandungan Kimia
Rimpang jahe memiliki kandungan banyak zat aktif, seperti:
* Minyak atsiri 2-3% * Zingberin
* Kamfena * Limonene
* Borneol * Sineol
* Zingiberal * Linalool
* Geraniol * Gingerin.
* Kavikol * Zingiberen
* Zingiberol * Gingerol
* Shogaol * Minyak dammar
* Pati * Asam malat
* Asam oksalat
Minyak atsiri dalam jahe
• Minyak atsiri merupakan campuran senyawa organik mudah menguap (volatile), tidak larut air dan mempunyai bau khas.
• Komponen utama minyak atsiri yang menyebabkan bau harum adalah zingiberen dan zingiberol
• Komponen volatile minyak atsiri tersebut yaitu : seskuiterpen, monoterpen dan monoterpen teroksidasi.
• Komponen minor minyak atsiri antara lain bisabolene, curcumene, camphene, citral, cineol, borneol, linaoll, methylheptenone

Komponen non volatil jahe:
Komponen non volatile jahe yaitu oleoresin merupakan senyawa fenol dengan rantai karbon samping yang terdiri dari tujuh atau lebih atom karbon seperti :
* Gingerol, * Gingerdiols
* Gingerdiones, * Dihidrogengerdiones
* Shogaol

f. Kegunaan
Rimpangnya sangat luas dipakai, antara lain sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa pada makanan seperti roti, kue, biscuit, kembang gula dan berbagai minuman. Jahe yang digunakan sebagai bumbu masak terutama berkhasiat untuk menambah nafsu makan, memperkuat lambung, dan memperbaiki pencernaan. Hal ini dimungkinkan karena terangsangnya selaput lendir perut besar dan usus oleh minyak asiri yang dikeluarkan rimpang jahe. Minyak jahe berisi gingerol yang berbau harum khas jahe, berkhasiat mencegah dan mengobati mual dan muntah, misalnya karena mabuk kendaraan atau pada wanita yang hamil muda. Juga rasanya yang tajam merangsang nafsu makan, memperkuat otot usus, membantu mengeluarkan gas usus serta membantu fungsi jantung.
Dalam pengobatan tradisional Asia, jahe dipakai untuk mengobati selesma, batuk, diare dan penyakit radang sendi tulang seperti artritis. Jahe juga dipakai untuk meningkatkan pembersihan tubuh melalui keringat.
Penelitian modern telah membuktikan secara ilmiah berbagai manfaat jahe, antara lain :
• Menurunkan tekanan darah. Hal ini karena jahe merangsang pelepasan hormon adrenalin dan memperlebar pembuluh darah, akibatnya darah mengalir lebih cepat dan lancar dan memperingan kerja jantung memompa darah.
• Membantu pencernaan, karena jahe mengandung enzim pencernaan yaitu protease dan lipase, yang masing-masing mencerna protein dan lemak.
• Gingerol pada jahe bersifat antikoagulan, yaitu mencegah penggumpalan darah. Jadi mencegah tersumbatnya pembuluh darah, penyebab utama stroke, dan serangan jantung. Gingerol juga diduga membantu menurunkan kadar kolesterol.
• Mencegah mual, karena jahe mampu memblok serotonin, yaitu senyawa kimia yang dapat menyebabkan perut berkontraksi, sehingga timbul rasa mual. Termasuk mual akibat mabok perjalanan.
• Membuat lambung menjadi nyaman, meringankan kram perut dan membantu mengeluarkan angin.
• Jahe juga mengandung antioksidan yang membantu menetralkan efek merusak yang disebabkan oleh radikal bebas di dalam tubuh.
Jahe sebagai Obat Praktis Jahe merupakan pereda rasa sakit yang alami dan dapat meredakan nyeri rematik, sakit kepala, dan migren. Caranya, minum wedang jahe 3 kali sehari. Bisa juga minum wedang ronde, mengulum permen jahe, atau menambahkan jahe saat pada soto, semur, atau rendang.
Daun jahe juga berkhasiat, antara lain dengan ditumbuk dan diberi sedikit air dapat dipergunakan sebagai obat kompres pada sakit kepala dan dapat dipercikan ke wajah orang yang sedang menggigil. Sedangkan rimpangnya ditumbuk dan direbus dalam air mendidih selama lebih kurang ½ jam, kemudian airnya dapat diminum sebagai obat untuk memperkuat pencernaan makanan dan mengusir gas di dalamnya, mengobati hati yang membengkak, batuk dan demam.
Jahe juga digunakan dalam industri obat, minyak wangi dan jamu tradisional. Jahe muda dimakan sebagai lalaban, diolah menjadi asinan dan acar. Disamping itu, karene dapat memberi efek rasa panas dalam perut, maka jahe juga digunakan sebagai bahan minuman seperti bandrek, sekoteng dan sirup. Jahe yang nama ilmiahnya Zingiber officinale sudah tak asing bagi kita, baik sebagai bumbu dapur maupun obat-obatan.


2. Isolasi Simplisia
Isolasi simplisia adalah pemisahan suatu kandungan simplisia untuk memperoleh zat aktif yang murni atau yang tidak mengandung zat yang inert.
Simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain simplisia merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelican atau mineral.






BAB III
METODELOGI PENELITIAN

A. Isolasi Simplisia
Alat dan bahan
 Pisau, papan, waterbath, tabung reaksi, corong, pipet, wadah tahan panas.
 Simplisia (rimpang Jahe merah), kloroform 0,05 N, asam sulfat 2 N, pereaksi Meyer, methanol, logam Mg, etanol, FeCl3, pereaksi Lieberman Bouchardat, aquadest.

Cara kerja
1. Pengumpulan simplisia
a. Pengumpulan simplisia yang akan digunakan
b. Sortasi simplisia dari pengotornya (seperti: tanah atau pasir), dengan cara dikupas dan di cuci bersih
c. Perajangan dengan menggunakan pemotong
d. Pengeringan, dengan cara diangin-anginkan dalam udara terbuka.
2. Uji Pendahuluan
a. Pemeriksaan alkaloid dengan cara Calvenor dan Fitzgerald
a). Siapkan 2-4 gram sampel, digerus dengan pasir dan 10 ml FeCl3,
b). Tambahkan 10 ml amoniak, 5 ml kloroform 0,05 N saring ke dalam tabung reaksi.
c). Tambahkan 0,5 ml asam sulfat 2 N kocok selama 1 menit
d). Diamkan, dan terdapat 2 lapisan asam, lapisan asam tersebut diambil lalu dibagi 2:
 Lapisan asam pertama tambahkan pereaksi Mayer, maka timbul endapan putih
 Lapisan asam kedua tambahkan pereaksi Bouchardat, maka akan timbul warna putih
b. Pemeriksaan Flavonoid
a). Siapkan 2 gram sampel tambahkan methanol, kemudian dipanaskan lalu disaring panas dan pekatkan di waterbath.
b). Tambahkan HCl pekat dan logam Mg, hasil positif akan menunjukkan warna merah.
c. Pemeriksaan terpen atau steroid, dan fenol atau saponin
a). Siapkan 2 gram sampel tambahkan 25 ml etanol, kemudian panaskan selama 25 menit
b). Saring panas-panas filtrat lalu uapkan di waterbat sampat kering.
c). Sisanya ditriturasi tambahkan kloroform
d). Bagian yang tidak larut dalam kloroform tambahkan air
e). Terdapat 2 lapisan, yaitu lapisan air dan lapisan kloroform, pisahkan.
 Ambil lapisan air:
o Untuk uji Saponin: lapisan air dimasukkan ke dalam tabung gelas dikocok, terbentuk busa yang mantap setinggi 3 cm yang tidak akan hilang selama 15 menit.
o Untuk uji Fenol: lapisan air ditambahkan HCl dan FeCl3, hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah.
 Ambil lapisan kloroform
o Ambil beberapa tetes lapisan kloroform lalu keringkan dalam plat tetes tambahkan pereaksi Lieberman Bouchardat (10 tetes asetat anhidrat) dan tambahkan 2-3 tetes asam sulfat pekat maka akan terbentuk warna hijau sampai biru untuk terpen dan warna merah untuk steroid.
d. Pemeriksaan Tanin

B. Ekstraksi
Alat dan Bahan
 Toples, wadah untuk maserat, batang pengaduk, ayakan, kain/pembungkus warna gelap (kertas cokelat), Vakum rotary evaporator.
 Simplisia, pelarut (etanol), aguadest, es batu.
Prosedur kerja
1. Penetapan derajat kehalusan serbuk sesuai dengan metode yang digunakan
a. Rajang sampel sesuai dengan ukuran yanga akan digunakan dalam metode praktikum.
b. Ayak dengan nomor ayakan yang sesuai
2. Pengekstrakan dengan cara maserasi
a. Masukan simplisia dalam toples kemudian rendam dengan pelarut etanol sampai terndam.
b. Tutup toples dengan kain atau kertas pembungkus warna gelap agar terlindung dari cahaya.
c. Aduk minimal 2 kali sehari untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan didalam sel dengan larutan diluar sel.
d. Setelah 2 hari pisahkan antara sari dengan ampasnya dengan cara penyaringan.
3. Pemekatan dengan vakum rotary evaporator
a. Masukan maserat ke dalam labu
b. Masukan aqua ke dalam waterbath secukupnya, atur suhu aqua di waterbath di atas titik didih pelarut.
c. Nyalakan speker evaporator dengan menekan tombol ON pada stop kontak.
d. Tekan tombol pengatur untuk memutar labu.
e. Nyalakan vakum
f. Tunggu sampai proses berakhir dan cairan penyari sampai habis, usahakan tidak terlalu pekat agar memudahkan dalam proses pengambilan ekstrak kental dari labu.
g. Matikan alat.

C. Fraksinasi
Alat dan Bahan
 Corong pisah, gelas ukur, erlenmeyer, botol vial, Kromatografi kolom, eluen
 H2SO4, CHCl3, methanol
Prosedur kerja
1. Metode corong pisah
a. Cara kerja lihat dalam bagan















b. Semua proses dilakukan dalam corong pisah
c. Setelah didapat beberapa fraksi, fraksi-fraksi tersebut disimpan dalam botol
d. Simpan
2. Metode kromatografi kolom
a. Ekstrak yang telah kering dilarutkan dengan eluen
b. Buat fase diam dalam kolom dengan silika gel
c. Kemudian ditempatkan pada kromatografi kolom
d. Hasil kromatografi ditampung kedalam vial

D. Kromatografi
Alat dan Bahan
 Lampu UV, chamber, pipa kapiler, plat silica gel
 Fraksi-fraksi, eluen

Prosedur kerja
1. Fraksi-fraksiyang ada masing-masing diambil dengan pipa kapiler
2. Kemudian masukkan ke dalam bejana atau chamber yang sudah jenuh dengan eluen sampai silika gel sedikit terendam, tutup chanber
3. Biarkan sampai eluen merambat naik hingga garis akhir
4. Setelah itu diangkat dan dibiarkan mengering
5. Lakukan pendeteksian yaitu dengan disinari oleh lampu UV untuk melihat bercak yang timbul, dan setiap bercak yang timul atau terdeteksi dilingkari
6. Amati warna yang ditimbulkan
7. Hitung harga Rf dengan rumus
Rf = jarak titik pusat spot noda dari titik awal = X
Jarak garis depan dari titik awal = Y

E. Pemanfaatan KLT dalam Identifikasi Pemalsuan Jamu
Alat dan Bahan
 Mikroskop, chamber, lampu UV, pipa kapiler, objek glass, plat silika gel
 Jamu, methanol, pembanding kimia, eluen

Prosedur kerja
1. Bukalah kantong jamu dengan hati-hati
2. Amati secara visual dan mikroskopis kemungkinan dijumpai partikel asing dalam jamu tersebut, dan apabila dijumpai adanya kristal, gambarlah bentuk kristal yang diamati
3. larutkan 100 mg jamu dalam 2 ml metanol
4. buatlah eluen yang sesuai untuk bahan sintetik yang dicurigai
5. totolkan larutan sampel jamu pasar dan pembanding kimia ke dalam plat KLT
6. elusi sampai garis besar terbasahi
7. keringkan plat
8. amati timbulnya bercak di bawah sinar UV, dan lingkari bercak tersebut.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
I. Hasil
Pada praktikum kami, kami menggunakan simplisia JAHE (Zingiber officinale) sebagai bahan yang digunakan pada penelitian ini. Metode yang kami gunakan adalah metode maserasi dengan cairan penyari adalah etanol. Dari hasil praktikum kami mengidentifikasi bahwa jahe mengandung senyawa :
1. Alkaloid
2. Flavonoid
3. Fenol
4. Steroid
Namun dalam literature lain tumbuhan jahe mengandun senyawa lain yaitu :
- Minyak atsirih
- Gingerol
- Zingerol
- Resin
- Pati
- Gula
- Karbohidrat
- Protein
- Lemak
- Serat dan
- Abu

 A. Isolasi Simplisia
Pada praktikum isolasi simplisia maka didapatkan zat aktif yang dikandung oleh rimpang jahe adalah:
1. Alkaloid
2. Flavonoid
3. Fenol
4. Steroid

 B. Ekstraksi
Pada praktikum ekstraksi, Karena kami mengestraksi rimpang jahe, maka cara penyarian yang kami lakukan adalah maserasi selama 3 hari dengan pengadukan dilakukan pada pagi dan sore hari.
Hasil dari ekstraksi adalah maserat kental sebanyak 30 ml.

 C. Fraksinasi
Pada praktikum fraksinasi maka didapatkan fraksi-fraksi zat aktif yang dikandung oleh rimpang jahe adalah:
1. Fraksi I: ekstrak polar
2. Fraksi II: ekstrak basa : alkaloid
3. Fraksi III: ekstrak polar ; methanol: alkaloid kuartener dan N-Oksida

 D. Kromatografi
Didapat nilai Rf:
Rf T1 = 4,7 = 0,94
5
Rf T2 = 4,9 =0,98
5
Rf F1 = 3,85 =0,77
5
Rf F1 = 4,9 =0,98
5
Rf F2 = 4,9 5= 0,99
5
Rf A1 = 0,65 =0,13
5
Rf A1 (f3) = 0,5/5 =0,1
Rf A2 =0,9 =0,18
5
Rf A2 =0,9 =0,18
5
 E. Pe manfaatan KLT dalam Identifikasi Pemalsuan Jamu
Tidak terdapat kenaikan eluen. Jadi kami simpulkan bahwa jamu itu tidak mengalami pemalsuan.



II. PEMBAHASAN
A. Isolasi
Sebagai bahan simplisia, tumbuhan obat dapat berupa tumbuhan liar ataupun tumbuhan budidaya. Tumbuhan liar umumnya kurang baik untuk dijadikan bahan simplisia, jika dibandingkan dengan hasil budidaya, karena simplisiaayang dihasilkan mutunya tiadak seragam. Hal ini disebabkan oleh :
1. Umur tumbuhan atau bagian tumbuhan yang dipanen tidak tepat dan beragam. Ummur tumbuhan atau bagian tumbuhan yang dipanen berpengaruh pada kadar senyawa aktif, sehingga mutu simplisisa yang di hasilkan sering tidak seragm
2. Jenis tumbuhan yang di panen sering kurang diperhatikan, sehingga simplisia yang diperoleh tidak sergam mutunya, wwalaupun sepintas kelihatannya sama. Sering juga terjadi kekeliruan dalam menetapkan jenis tumbuhan, terutama untuk jenis-jenis tumbuhan dalam satu marga yang sering kali mempunyai bentuk morfologi yang sama.
3. Lingkungan tempat tumbuh yang berbeda sering mengakibatkan perbedaan kadar kandungan zat aktif. Faktor lingkungan yang berpengaruh antara lain : tingi tempat, keadaan tanah dan cuaca.
Untuk meningkatkan mutu hasil budidaya tumbuhan obat dapat ditempuh dengan cara :
a. Bibit dipilih uuntuk mendapatkan tumbuhan unggul, sehingga simplisia yang dihasilkan memiliki kandungan senyawa aktif yang oftimal.
b. Pengolahan tanah, pemeliharaan, pemupukan dan perlindungan tumbuhan dilakukan dengan seksama.
c. Pelaksanaan panen pada umur yang seragam dari tumbuhan obat, pemilihan lingkungan tempat tumbuh dan pemilihan jenis tumbuhan obat yang tepat.
Isolasi adalah pemisahan suatu kandungan simplisia untuk memperoleh zat aktif yang murni. Sudah ratusan tahun yang lalu, manusia mengetahuiu adanya “Quinta essentia ”yang terdapat dalam tumbuhan, hewan dan mineral. Manusia memerlukan quinta essential, maka mereka berusaha untuk memisahkan untuk memisahkannya dari tumbuhan atau hewan tersebut. Pada tauhun1300 Raymudus Lullius menarik quintq essential dengan anggur yang dimasukkan dalam botol dan dibiarkan diluar rumah agar terkena sinar ultra violet yang dapat merusak quinta essential tersebut, maka penarikan berikutnya dijaga jangan sampai terkena sinar matahari. Di Indonesia penarikan sari tersebut dilaksanakan dengan memipis yaitu melumatkan bahan dengan bantuan air, pada alat yang disebut pipisan, kamudian diperas dan ampsnya dibuang.
Penyarian adalah kegiatan penarikan zat yang apat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang disari mengandung zat aktif yang dapat larut dan zat yang tidak larut seperti serat, karbohidrat, protein da lain-lain. Zat aktif yang terdapat di dalam simplisia dapat di golongkan kedalam alkaloida, glikosida, flavonoid dan lain-lain. Adapun proses penyarian dapat dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: pembuatan serbuk, pembasahan, panyarian dan pemekatan. Secara umum penyarian dapat dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi antara lain: Infundasi, maserasi, perkolasi dan destilasi uap. Namun dari ketiga macam metode tersebut dapat dilakukan modifikasi seperti misalnya maserasi dapat di modifikasi dengan digesti (bantuan dengan pemanasan).
Tahap Pembuatan
Pengupulan bahan baku
Kadar senyawa aktif dala suatu simplisia berbeda-beda yang tergantung pada beberapa faktor, antara lain : bagian tumbuhan yang digunakan, umur tumbuhan atau bagia tumbuhan pada saat panen, waktu panen dan lingkungan tempat tumbuh. Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentuka senyawa aktif didalam bagian tumbuhan yang akan dipanen. Waktu panen yang tepat pada saat bagian tumbuhan tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah yang terbesar.
B. Ekstraksi
Agar dapat diperoleh simplisia dengan bibit terbaik, terhadap hasil panen perlu dilakukan sortasi. Ada dua cara sortasi, yaitu sortasi basa dan sortasi kering.
a. Sortasi basa
Sortasi basa dilakukan untuk memisahkan kotoran-kkotoaran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisisa yang dibuat dari akar tumbuhan obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yangtelah rusak, serta pengotor lainnya harus dibuang. Tanah mengandung bermacam-macam mikroba dalam jumlah tinggi, oleh karena itu pembersihan simplisia dari tanah yang terbawa dapat mengurangi jumlah mikroba.

Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilnagkan tanah dan pengotpr lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih mislnya air dari mata air, air sumur, atau air PAM. Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah mengandung zat yang larut dalam air mengalir, agar pencucian dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin.
Cara sortasi dengan pencucian sangat mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba wal simplisia. Mmisalnnya jika air digunakan kotor, maka jumlah mikroba pada permukaan bahan simplisia akan dapt bertambah. Bakteri yang umumnya yang terdapat dalam air adalah pseudomonas. SP, proteus. SP, mikrococus.SP, bacillus. SP, streptococcus. SP.dan lain-lain.
Pada simplisia akar, batang atau buah dapat pula dilakukan pengupasan kulit luar, untuk mengurangi jumlah mikroba karena sebagian besar mikroba biasanya terdapat pada bagian luar tumbuhan. Bahan yang telah dikupas tersebut mungkin tidak memerlukan pencucian jika pengupasan dilakukan dengan baik.

Perajangan
Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan. Tumbuhan yang baru di ambil jangan langsung dirajang tetapi dijemur dalam keadaan utuh selama satu hari. Prajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipas atua potongan dengan ukura yang dikehendali. Semakin tipis bahan yang di keringkan semkin cepat penguapan air, sehingga mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga akan menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap sehingga mempengaruhi komposis, baud an rasa yang diinginkan. Oleh karena itu bahan simplisia seperti temukawak, temu giring, jahe, kencur dan bahan sejenis lainnya dihindari peraajngan yang terlalu tipis untuk mencegah berkurangnya kadar minyak atsirih. Selama perajangan seharusnya jumlah mikroba tidak bertambah. Penjemuran sebelum perajangan diperlukan untuk mengurangi pewarnaan akibat reaksi antara bahan dan logam pisau
.
Pengeringan
Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Berbagai cara pengeringan telah dikenal dan digunakan pada dasarnya dikenal dua cara pengeringan yaitu : pengeringan alami dan buatan.
Dengan mengurangi kadar air dan penghentian reaksi enzimatis akan dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia. Air yang masi tersisah dalam simplisia pada kadar tertentu dapat merupakan media pertumbuhan kapang dan zat renik lainnya.
Enzim tertentu dalam sel, masih dapat bekerja menguraikan senyawa aktif sesaat setelah sel mati dan selama bahan simplisia tersebut masi mengadung air tertentu. Pada tumbuhan yang masi hidup pertumbuhan kapang dan reaksi enzimatis yang merusak itu tidak terjadi karena adannya ketidak seimbangan antara proses metabolism, yakni proses sintesis, transformasi dan penggunaan isi sel. Keseimbangan ini hilang setelah sel mati.

a. Pengeringan Alami
- Dengan panas sinar matahari langsung
Cara ini dilakukan untuk mengeringkan bagian tumbuhan yang relative keras seperti kayu, kulit kayu, biji dan sebagainya yang mengandung senyawa aktif yang relative stail. Pengeringan dengan sinsr kmatahari merupakan suatu cara yang mudah dan murah, yang dilakukan dengan cara membiarkan bahan yang telah dipotong-potong diudara terbuka dialas tampah, tanpa kondisi yang terkontrol, seperti suhu, kelembaban dan aliran udara. Dengan cara ini kecepatan pengerinngan sangat tergantung pada keadaan iklim, sehingga cara ini hanya baik dilakukan didaerah yang udaranya panas serta kelembabannya rendah.
- Dengan angin-angin
Dengan angin-angin dan tidak dipanaskan dengan sinar matahari langsung. Cara ini terutama digunakan untuk mengeringkan bagian tumbuhan yang lunak seperti bunga, daun dan sebagainya yang mengandung senyawa aktif aygn mudah menguap. Pada kedua cara tersebut, tempat pengeringan mempunyai dasar berlubang-lubang seperti anyaman bamboo, kain kasa dan sebagainya. ;etak pengeingan juga diatur sehingga memungkinkan terjadinya aliran udara dari atas kebawah.
b. Pengeringan buatan
Kerugian yang mungkin terjadi jika melakukan pengeringan dengan cara alami dapat diatasi dengan melakukan pengeringan buatan dengan menggunakan suatu alat mesin pengering yang suhu, kelembaban, tekanan dan aliran udara dapat diatur.
b. Sortasi Kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian tumbuhan yang tidak diinginkan dan pengotor lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisis kering.

c. Pembuatan Serbuk
Agar memudahkan proses penarikan zat, maka simplisia harus dibuat dalam bentuk yang lebih kecil, yaitu dengan pembuatan serbuk. Zat aktif yang berada di dalam sel ditarik kedalam cairan penyari sehingga terjadi larutan zat aktif dalam larutan cairan penyari tersebut.
Pada umumnya penyarian akan lebuh baik bila permukaan serbuk bersentuhan lebih luas dengan cairan penyari. Namum dalam pelaksanaannya tidak selalu demikian karena penyarian masih tergantung sifat fisik dan kimia simplisia yang bersangkutan. Kendala yang akan ditemui bila membuat serbuk simplisia yang terlalu halus akan memberikan kesulitan pada proses penyarian itu sendiri. Hal ini Nampak pada proses perkolasi, bila serbuk terlalu halus maka serbuk tidak mau turun. Selain itu, serbuk yang terlalu halus butir-butir halus tersebut akan membentuk suatu suspensi yang sulit dipisahkan dengan penyarian. Ddengan demikian hasil penyarian tidak murni lagitetapi tercampur dengan partikel-partikel halus tadi.

d. Pembasahan
Dinding sel tumbuhan terdiri dari selulosa. Serabut selulosa pada simplisia segar dikelilingi oleh air. Jika simplisia tersebut di keringkan maka air akan keluar dari sel terjadi pengerutan sehingga terbentuk pori-pori yang terisi udara. Bila serbuk simplisia dibasahi, maka serbuk simplisia tersebut akan dikelilingi oleh cairan penyari dan mengembang kembali.
Pembasahan serbuk dimaksudkan untuk memberikan kesempatan sebesar-besarnya pada cairan penyari yang masuk ke dalam seluruh pori-porisimplisia sehingga mempermmudah penyarian selanjudnya.
e. Penyarian
Pada waktu pembuatan serbuk simplisia, beberapa sel ada yang dinding sel nya pecah dan ada jjuaga yang masih utuh. Sel yang sudah pecah maka tidak ada penghalang pembebasan sari, namun sel yang masih utuh zat aktif dalam sel harus melewati dinding sel untuk keluar. Peristiwa osmosa dan difusi sangat berpengaruh pada proses penyarian tersebut.
Penyarian dipengaruhi oleh: 1) derajat kehalusan, 2) perbedaan konsentrasi yang terdapat mulai dari pusat butir sampai ke permukaan simplisia.


Cairan Penyari
Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak factor. Cairan penyari yang baik harus memenuhi criteria berikut ini:
1. Murah dan mudah diperoleh
2. Stabil secara fisika dan kimia
3. Tidak bereaksi
4. Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar
5. Selektif yaitu hanya menarik zat yang berkhasiat yang dikehendaki
6. Tidak mempengaruhi zat berkhasiat
7. Diperbolehkan oleh peraturan
Pelarut organic kurang digunakna dalam penyarian, kecuali dalam proses penyarian tertentu. Salah satu contoh eter minyak tanah digunakan untuk menarik lemak dari serbuk simplisia sebelum proses penyarian.
Untuk penyarian ini Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, etanol-air atau eter. Penyarian pada peusahaan obat tradisional masi terbatas pada penggunaan penyari air etanol atau etanol air.

Air dipertimbangkan sebagai penyari karena :
1. Murah dan mudah diperoleh
2. Stabil
3. Tidak mmudah menguap
4. Tidak mudh terbakar
5. Tidak beracun
6. Alami

Kerugian menggunakan air sebagai penyari:
1. Tidak selektif
2. Saari dapat ditumbuhi mikroorganisme dan cepat rusak
3. Untuk pengeringan diperlukan waktu lama
Air disamping melarutkan garam alkaloid, minyak menguap, glikosida, tannin dan gula, juga melarutkan gom, pati, protein dan enzim. Dengan demikian penggunaan air sebagai cairan penyari kurang menguntungkan. Disamping zat aktif ikut tersari juga at lain yang tidak diperlukan.
Etanol dipertimbangkan sebagai cairan penyari karena :
1. Lebih selektif
2. Kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol
3. Tidak beracun
4. Netral
5. Absorbsinya baik
6. Etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan
7. Panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit


Kerugiannya bahwa etanol harganya libih mahal.

Cara penyarian :
a. Infundasi
Infundasi adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan air pada suhu 90oC selama 15 manit. Infundasi merupakan proses penyarian yang paling umum digunakan untuk menyaari kandungan zat aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Penyarian dengan cara ini menghasikan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapng sehingga sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam.
Infuse dibuat dengan cara :
a. Membasahi bahan bakunya biasanya dengan air 2 kali bobotbahan, untuk bunga 4 kali bobot, unutk karagen 10 kali bobot bahan.
b. Bahan baku ditambah dengan air dan dipanaskan selama 15 menit pada suhu 90oC
c. Untuk memindahkan penyarian kadang-kadang perlu ditambah bahan kimia misalnya : asam sittrat unutk infuse kina dan lain-lain
d. Penyaringan dilakukan pada saat cairan masih panas, kecuali bahan yang mengandung bahan yang mudah menguap.

b. Maserasi
Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus sel dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara zat dalam sel dengan cairan diluar sel.
Maserai digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung stirak, benzoin dan lain-lain.
Maserai dapat dilakukan modifikasi misalnya dengan digesti : digesti adalah cara maserasi dengan penambahan pemanasan lemah (40 – 50 oC). cara ini hanya dapat dilakukan untuk zat yang ahan terhadap panas.
Maserasi dapat juga dimodifikasi dengan maserasi dengan mesin pengaduk, remaserasi, maserasi melingkar dan lain-lain.

c. Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi dalam wadah yang disebut perkolator. Cara perrkolasi lebuh baik dibandingkan dengan maserasi karena :
- Aliran cairan penyari menyebabkan pergantian larutan yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah.
- Ruang diantara butir-butir serbuk membentuk simplisia membentuk saluran tempat cairan penyari mengalir.
d. Destilasi Uap
Destilasi uap dapat dipertimbangkan untuk menyari serbuk simplisia yang mengandung komponen yang mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal. Pada pemanasan biasa kemungkinan akan terjadi kerusakan zat aktif nya. Untuk mencegah hal tersebut maka penyarian dilakukan dengan destilasi uap.
Dengan adanya pengaupan pada air yang masuk, maka tekanan kestimbangan uap zat kandungan akan diturunkan menjadi sama dengan tekanan bagian didalam suatu system, sehingga produk akan terdestilasi dan terbawah oleh uap air yang mengalir.

f. Pemekatan
Pemekatan dilakukan denga rotary evaporator Cara kerja :
- Masukan maserat dalam labu rotary,
- Masuk air ke dalam waterbath secukupnya, atur suhu ,
- Nyalakan speker evaporator dengan menekan tombol ON,
- Tekan tombol pemutar labu
- Tunggu sampai proses berakhir dan cairan penyari sampai habis, usahakan tidak terlalu pekat agar memudahkan dalam proses pengambilan ekstrak kental dari labu.


C. Fraksinasi
Setelah proses Ekstraksi selesai, maka proses selanjudnya adalah melakukan pemisahan (yang di sebut dengan fraksinasi). Fraksinasi adalah pemisahan golongan sennyawa yang berdasarkan sifat kepolarannya dan merupakan suatu metode untuk memisahkan dan membedakan golongan senyawa yang terkandung dengan menggunakan suatu alat yang disebut corong pisah, simplisia di asamkan denga menggunakan asam sulfat , di basahkan dengan menggunnakan klorofom serta diuapkan dengan menggunakan methanol. Selain memisahkan dengan corong pisah, Fraksinasi dapat juga dilakukan dengan menggunakan metode kromatografi yaitu kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis.

D. Kromatografi
Setelah dilakukan fraksinasi maka langkah selanjudnya adalah Kromatografi. Tehnik pemisahan kromatografi adalah tehnik pemisahan fisik suatu zat kimia berdasarkan pada perbedaan migrasi dari masiing-masing komponen campuran yang terpisah pada fase diam dengan pengaruh pergerakan fase gerak. Tujuan kromatografi adalah :
- Pemisahan komponen zat dalam campuran
- Analisa
- Freparatif
Azas pemisahan kromatografi adalah :
- Adsorbsi
- Partisi
- Filtrasi
- Suhu kritis
Pada praktikum ini metode kromatografi yang di gunakan adalah kromatografi kolom dan kromatografi kertas.
Kromatografi Kolom, Menurut FI edisi III, fase diam berupa zat penyerap seperti aluminiumoksida yang telah diaktifkan, silica gel, kiesselgur yang ddalam keadaan kering atau bubur dimampatkan dalam tabung kaca atau tabung kuarsa dengan ukuran tertentu yang mempunyai lubang pengalir keluar. Pemisahan terjadi berdasarkan derajat kepolaran.
Kromatografi lapis tipis, eluen yang digunakan adalah silica gel sgGF 245 dengan penggikat kalsium sulfat.
Cara kerja :
Sampel dari masing-masingtinta ditotolkan pada garis dasar pensil pada selembar KLT, kemmudian dimasukkan dalam eluen yang sesuai hingga diperoleh RF (jarak rambat spot noda). Untuk mengetahuui komponen-komponen yang ada dalam sampel maka dapat di lakukan dengan cara menghitung nilai RF tersebut
Pada praktikum kromatografi ini, kami menggunakan metode kromatografi lapis tipis untuk mengedentifikasi pemalsuan jamu. Berhubungan dengan hokum kedokteran yang terpenting adalah janganlah merugikan sang pasien, maka dalam mempergunakan jamu tanpa penyelidikan secara alamiah terlebih dahulu dianggap bertentangan dengan hukum kedokteran. Maka kami menguji salah satu produk jamu yang beredar di pasar dengan menerapkan metode kromatografi lapis tipis.

E. Identifikasi pemalsuan Jamu
Jamu adalah sebutan untuk obat tradisional dari Indonesia. Belakangan populer dengan sebutan herba atau herbal.
Jamu dibuat dari bahan-bahan alami, berupa bagian dari tumbuhan seperti rimpang (akar-akaran), daun-daunan dan kulit batang, buah. Ada juga menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti empedu kambing atau tangkur buaya.
Jamu biasanya terasa pahit sehingga perlu ditambah madu sebagai pemanis agar rasanya lebih dapat ditoleransi peminumnya.
Di berbagai kota besar terdapat profesi penjual jamu gendong yang berkeliling menjajakan jamu sebagai minuman yang sehat dan menyegarkan. Selain itu jamu juga diproduksi di pabrik-pabrik jamu oleh perusahaan besar seperti Jamu Air Mancur, Nyonya Meneer atau Djamu Djago, dan dijual di berbagai toko obat dalam kemasan sachet. Jamu seperti ini harus dilarutkan dalam air panas terlebih dahulu sebelum diminum. Pada perkembangan selanjutnya jamu juga dijual dalam bentuk tablet kaplet dan kapsul
Tujuan kami melakukan praktek uji identifikasi jamu adalah untuk mengetahui apakah jamu yang ada dipasaran layak untuk para konsumen/masyarakat,karena pada saat ini banyak beredar jamu-jamu palsu yang dampaknya sangat merugikan konsumen/masyarakat.sehingga kami menguji jamu-jamu yang telah beredar dilingkungan masyarakat,berikut ini artikel-artikel yang membuktikan banyaknya jamu-jamu palsu yang telah beredar dilingkungan kita.
Hati-hati memilih jamu

Thursday, 17 January 2008

Di Indonesia, banyak orang yang tergolong fanatik mengonsumsi jamu. Jika badan terasa tak enak dan rasa ngilu mendera segera mereka minum jamu untuk menghilangkannya. Hal ini telah mereka lakukan belasan tahun kemudian menjadi tradisi yang dilakukan secara turun temurun. Bagi mereka yang sudah terbiasa, jamu tradisional dianggap lebih mujarab dan lebih aman dibandingkan dengan obat-obatan sintetis.
Para penggemar dan pengguna jamu di kalangan masyarakat bahkan jumlahnya kian bertambah. Bagi mereka, minum cairan pahit dengan aroma rempah-rempah yang sangat kuat bukan menjadi masalah; hal terpenting adalah khasiat dan kegunaan yang dirasakan. Selama ini ada anggapan bahwa jamu identik dengan bahan-bahan natural yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, berupa akar-akaran, daun-daunan, umbi-umbian dan berbagai bagian tumbuhan yang lain.
Oleh karena itu menurut pandangan ini jamu dapat diminum kapan saja dan oleh siapa saja tanpa takut adanya efek samping. Dengan demikian banyak orang yang menganggap bahwa jamu selama ini hanya dikenal sebagai campuran bahan-bahan dari tumbuhan. Namun pada kenyataannya bahan-bahan yang berasal dari hewan juga digunakan sebagai ramuan jamu. Dengan demikian perlu ada kehati-hatian dalam memilih jamu.
Terlebih lagi ketika jamu sudah menjelma menjadi komoditi industri dan berinteraksi dengan bahan-bahan obat modern. Beberapa waktu lalu di daerah Cilacap dan sekitarnya ditengarai adanya jamu tradisional yang menggunakan bahan kimia obat. Fakta ini menunjukkan bahwa sebenarnya jamu-jamuan yang lainpun tidak akan lepas dari peran bahan-bahan olahan dan bahan kimia. Oleh karena itu perlu kewaspadaan dan kehati-hatian dalam mengkonsumsinya, baik dari aspek kehalalan maupun keamanan fisik. Dari segi bahan dasar, jamu tidak sepenuhnya berasal dari bahan-bahan tumbuhan.
Perkembangan jamu dimulai dari ramu-ramuan tradisional yang berkembang di tengah masyarakat, yang kemudian berkembang menjadi ramuan jamu yang diyakini memiliki khasiat tertentu bagi tubuh manusia. Pada kenyataannya ramuan tradisional itu juga mengenal bahan-bahan hewani, seperti kuda laut, jeroan ayam (empedu, limpa, tembolok, dsb) dan ekstrak berbagai bagian dan jenis binatang. Kehadiran ekstrak atau bahan dari hewan itu tentu saja menimbulkan masalah tersendiri dari segi kehalalan.
Sebab penggunaan hewan ini harus dilihat dari segi jenis hewannya dan metode pemotonganya. Dari data yang dihimpun Jurnal Halal ternyata ada indikasi penggunaan bahan-bahan hewani dalam jamu-jamu modern yang beredar di masyarakat. Selain itu bahan penolong dan bahan pembantu lainnya dalam pengolahan jamu modern juga dapat melibatkan bahan-bahan haram atau subhat. Kini jamu tidak hanya berbentuk serbuk kasar yang berserat saja, seperti halnya jamu-jamu pada zaman dahulu.
Perkembangan teknologi proses dan pengolahan telah menyentuh industri jamu. Kini produk tersebut sudah ada yang berbentuk ekstrak (sari) instan, berbentuk kaplet, tablet dan juga kapsul. Nah selama proses ekstraksi, pembentukan kaplet dan tablet serta penggunaan kapsul ini memungkinkan masuknya bahan-bahan haram semisal gelatin. Kini jamu semakin berkembang dalam dunia modern dengan penampilan yang lebih baik dan menarik.
Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bagi kalangan pengusaha yang meghasilkan jamu tersebut adalah bahwa aspek kehalalan jangan sampai terlupakan. Sebab jika hal ini tidak dicermati dengan baik, pandangan jamu sebagai bahan yang alami, halal dan aman terkikis dengan kecurigaan dan was-was di kalangan masyarakat.
Kamis, 03 Juli 2008 | 16:22 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Departemen Kesehatan Bojonegoro kembali menyita delapan produk jamu berbagai merk ketika melakukan razia di 12 toko dan apotik di daerah itu, Kamis (3/7). Sebelumnya ditemukan dua produk. Jamu-jamu tersebut mengandung bahan kimia berbahaya, dan termasuk dalam daftar 54 jamu dan obat yang dilarang dijualbelikan. Pada kemasannya dicantumkan nomor registrasi fiktif.
Di antara jamu tersebut, terdapat merk Remurat, produksi perusahaan jamu Barapai, Kalimantan. Juga serbuk Subur Kandungan, produksi Sabdo Palon, Solo. Ada pula jamu pelangsing, Pri Perkasa, kending manis, ambeien, syaraf dan hepatitis. Jamu-jamu tersebut berupa serbuk.
Pada razia sebelumnya, ditemukan sejumlah merk, di antaranya, obat flu tulang merek Onta, dan merek Langsung Ayu Sing Ayu. Keduanya berbentuk kapsul.
Mohammad Iksan, Kepala Subdinas Farmasi Makanan dan Minuman (Farmakin), Dinas Kesehatan Bojonegoro, mengatakan telah memperingatkan pemilik toko obat dan apotek yang menjual jamu-jamu terlarang itu. ’’Jamu yang mereka jual tidak ada izin Depkes,’’ katanya, Kamis(3/7).
Contoh dari seluruh jamu tersebut akan dikirim ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) di Surabaya, untuk diteliti komposisi bahan-bahan yang digunakan.
Sebelum digelar operasi Dinas Kesehatan telah menggelar pertemuan dengan Asosiasi Pedagang Jamu Bojonegoro untuk menjelaskan jamu-jamu berbahaya. Tapi toko obat dan apotik masih tetap menjualnya.
Jamu atau dikenal juga dengan suplemen makanan bermanfaat bagi tubuh kita apabila dibuat 100% dari bahan alami namun apabila dicampur dengan zat tambahan kimia lainnya maka dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya buat tubuh, berikut ini tuturan dari Kompas mengenai fenomena Jamu Campuran Kimia: "Sayangnya, ada juga jamu-ja¬muan yang pada bungkus luarnya tertera nomor registrasi Ba¬dan POM dan Depkes, tetapi ternyata—setelah ditelusuri lebih lanjut—palsu. Padahal, masyarakat sulit untuk mengecek apakah nomor Badan POM tersebut asli atau karangan belaka. Inilah yang membahayakan sebab kita tidak pernah tahu apa saja bahan-bahan yang terkandung da¬lam jamu-jamuan tersebut. Kompas edisi Kamis, 14 Desember 2006, menurunkan tulisan berjudul "Cara Bijak Pilih Obat Tradisional". Di dalamnya dibahas mengenai adanya 93 jenis jamu yang mengandung obat keras. Bahan-bahan obat keras tersebut di antaranya fenibutason, metampiron, CTM, piroksikam, deksametason, allupurinol, sildenafii sitrat, sibutramin hidroklorida, dan parasetamol."
Produk - produk suplemen Dr. Liza antara lain Temulawak (mengatasi penyakit hati dan penambah nafsu makan), Purwoceng (meningkatkan vitalitas pria dewasa), Bangle (membantu menurunkan berat badan), Pegagan (meningkatkan daya ingat & merevitalisasi sel), Rosella (mencegah pengapuran tulang & penuaan dini), Temu Putih (membantu mengatasi kanker), dan lain-lain diproduksi oleh PT. Liza Herbal International (Dr. Liza), Bogor, Jawa Barat yang berasal dari 100% Herbal Alami tanpa Zat Tambahan & Pengawet Kimia. Produk Dr. Liza telah terdaftar di Badan POM, Dinas Kesehatan, mendapatkan Sertifikat Halal dari MUI, mendapatkan penghargaan Juara I dari Pemda Propinsi Jawa Barat dan telah melalui test serta supervisi para ahli dari Laboratorium IPB Bogor.


Bocor Lambung karena Jamu
Kompas, 7 Sept 2007
Jamu merupakan ramuan tradisional yang sangat umum ditemukan di Indonesia, yang digunakan baik sebagai tambahan/ suplemen sehari-hari maupun sebagai "obat" untuk berbagai macam penyakit. Khusus bagi.golongan masyara-kat menengah-bawah, jamu masih kerap menjadi pilihan pertama untuk mengatasi gangguan kesehatan sehari-hari.
Tidak semua jamu-jamuan di Indonesia masuk ke dalam daftar Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM). Jamu gendong, misalnya, yang pembuatannya dilakukan langsung oleh si penjual jamu dengan ilmu yang turun-temurun. Akan tetapi, banyak pula jamu-jamuan yang masuk ke dalam daftar Ba¬dan POM dan Depkes serta memiliki nomor registrasi resmi.
Sayangnya, ada juga jamu-ja¬muan yang pada bungkus luarnya tertera nomor registrasi Ba¬dan POM dan Depkes, tetapi ternyata—setelah ditelusuri lebih lanjut—palsu. Padahal, masyarakat sulit untuk mengecek apakah nomor Badan POM tersebut asli atau karangan belaka. Inilah yang membahayakan sebab kita tidak pernah tahu apa saja bahan-bahan yang terkandung da¬lam jamu-jamuan tersebut.
Kompas edisi Kamis, 14 Desember 2006, menurunkan tulisan berjudul "Cara Bijak Pilih Obat Tradisional". Di dalamnya dibahas mengenai adanya 93 jenis jamu yang mengandung obat keras. Bahan-bahan obat keras tersebut di antaranya fenibutason, metampiron, CTM, piroksikam, deksametason, allupurinol, sildenafii sitrat, sibutramin hidroklorida, dan parasetamol.
Hampir semua bahan terse¬but dapat menyebabkan efek samping langsung terhadap lapisan sel pelindung pada lambung (mukosa lambung), yaitu peptic ulcer (borok pada dinding mukosa lambung). Peptic ulcer, merupakan penyebab utama bocor lambung (± 70 persen) selain keganasan/kanker pada lambung (± 30 persen). Masyarakat pada umumnya mengetahui penyakit peptic ulcer sebagai penyakit mag. Pengobatan yang tidak adekuat akan mengakibatkan komplikasi lebih lanjut berupa perdarahan lambung, keganasan dan akhirnya bocor lambung.
Penyebab tersering dari peptic ulcer adalah produksi asam lam¬bung yang berlebih, obat-obatan, serta infeksi Helicobacter pylori, sejenis bakteri tahan asam yang memiliki sifat khusus dapat memproduksi enzim urease yang dapat mengubah derajat keasarnan di dalam lambung menjadi suasana basa. Dengan demlkian, bakteri itu dapat hidup dan berkembang biak di da¬lam mukosa lambung.
Produksi asam lambung berlebih dapat disebabkan oleh faktor stres dan rokok, sedangkan infeksi H.Pylori dapat dieradikasi dengan obat-obatan tertentu sehingga pameo saat ini berubah dari no acid, no ulcer (1910) menjadi no H.Pylori, no ulcer (1989).
Obat-obatan yang paling sering menyebabkan peptic ulcer adalah golongan anti-inflamasi non-steroid (misalnya, parace¬tamol, fenilbutason, metampiron), serta golongan obat-obat steroid (misalnya, prednison, deksametason). Semua hal di atas menjadi penyebab utama terjadinya kebocoran lambung yang belakangan ini meningkat tajam insidensinya di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia.
Jamu-jamuan sebenarnya dimasukkan ke dalam golongan suplemen makanan, bukan obat-obatan, yang dibuat dari bahan-bahan alami berupa bagian dari tumbuhan, seperti akar-akaran, daun-daunan, dan kulit batang. Ada juga yang menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti empedu kambing atau tangkur buaya. Efeknya ju¬ga tidak akan langsung dirasakan oleh peminumnya. Karena sifatnya berupa suplemen, jika ada jamu yang efeknya "cespleng", justru harus dicurigai mengandung bahan obat-obatan kimia tertentu.
Dalam tahun ini, kejadian pasien dengan bocor lambung (perforasi gastef) meningkat drastis. Di RS Hasan Sadikin, Bandung, kasus pasien dengan bocor lambung pada tahun 2005 sejumlah 26 orang, tahun 2006 sejumlah 38 orang, dan 2007 dari Januari hingga Juli (6 bulan) saja terdapat peningkatan men¬jadi 53 pasien.
Insidensi ini tampaknya akan meningkat terus. Hal ini serupa dengan penelitian di RS Immanuel, Bandung, di mana kasus¬nya pada tahun 2006 tidak lebih dari 10 orang, tetapi dalam enam bulan terakhir (Januari-Juli 2007) kasusnya mencapai 40 orang dan cenderung bertambah. Mayoritas kasusnya adalah pria (77 persen), yang sesuai dengan insidensi populasi di seluruh dunia. Usia terbanyak berada di kisaran 50-70 tahun, dengan usia penderita termuda 22 tahun, dan tertua 80 tahun (rata-rata 60 tahun).
Hal yang menarik mengenai kasus-kasus bocor lambung di kedua rumah sakit pendidikan di Bandung tersebut adalah se¬luruh penderita adalah pengonsumsi jamu-jamuan kronis (menahun) akibat penyakit rematik, nyeri kepala, flu, dan sebagainya. Kebanyakan penderita membeli jamu-jamu tersebut dari warung-warung jamu dan bukan dari produsen yang terpercaya.
Hubungan langsung antara konsumsi jamu-jamuan "gelap" ini dengan peningkatan kasus bocor lambung yang sangat drastis memang belum jelas terbukti. Namun, dari hasil pemeriksaan patologi anatomi (pemeriksaan jaringan di sekifar dinding lambung yang bocor) menunjukkan tidak adanya kuman H.pylori yang merupakan penyebab paling banyak borok dinding mukosa lambung, maupun adanya keganasan/tumor pada mukosa lambung penderita.
Hal ini yang menimbulkan suatu hipotesis penyebab lainnya, yaitu konsumsi obat-obat yang dapat mengiritasi mukosa lambung. Salah satunya adalah jamu-jamuan, yang menurut Badan POM dicampur dengan obat-obat kimia keras.
Penderita dengan perforasi gaster umumnya datang dengan keluhan nyeri perut mendadak dan sangat hebat dirasakan di perut bagian atas (ulu hati, mirip gejala penyakit mag), wajah pucat, keringat dingin, napas pendek-pendek, demam, dan muntah-muntah, khususnya pa-da jam-jam pertama setelah kebocoran terjadi.
Setelah beberapa jam, penderita biasanya tampak lebih baik, nyeri berkurang, muntah-mun¬tah berhenti, suhu dan nadi nor¬mal, bahkan penderita bisa tidur. Namun, justru pada periode "intermediate' inilah waktu yang paling baik untuk dilakukan tindakan segera berupa operasi/pembedahan sehingga diagno¬sis penderita harus dilakukan dengan cepat dan benar.
Pada periode lanjut (lebih da¬ri 12 jam setelah kebocoran lam¬bung terjadi), pasien akan memburuk dengan cepat dan mulai masuk ke dalam keadaan peri¬tonitis (peradangan hebat pada rongga perut) dan sepsis (infeksi hebat. Racun/toksin bakteri sudah menyebar ke seluruh tubuh) akibat kontaminasi rongga perut oleh asam lambung dan isi lam¬bung lainnya, berupa sisa makanan dan enzim-enzim pencernaan.
Jika penderita baru ditangani pada periode lanjut ini, atau bahkan lebih lama, prognosis (kemungkinan yang terjadi pada penderita) pada pasien tersebut akan menjadi lebih buruk. Apalagi diperberat lagi dengan faktor usia penderita yang umumnya sudah lanjut, serta penyakitpenyakit usia lanjut lainnya.
Penanganan penderita yang sudah didiagnosis sebagai perforasi gaster adalah penanganan secara pembedahan karena ke¬bocoran tersebut harus dicari dan ditutup oleh ahli bedah yang bersangkutan. Umumnya, jika penderita datang pada periode-periode awal penyakitnya, pasien dapat sembuh sempurna dalam waktu 7-10 hari.
Namun, penelitian di RS Immanuel pada enam bulan terakhir menunjukkan 57 persen saja penderita dengan perbaikan atau sembuh sempurna, 22 per¬sen meninggal dunia, sisanya dibawa pulang paksa oleh keluarga atau hal lainnya. Pada kasus penderita yang meninggal dunia, 89 persen akibat menolak dioperasi atau keadaannya yang sudah sangat berat sehingga ti¬dak mungkin lagi untuk dilaku¬kan pembiusan. Hal ini menun-jukkan bahwa level of patient awareness (tingkat kesadaran) masyarakat kita masih sangat rendah untuk kasus ini, apalagi jika dokter yang pertama menanganinya juga kurang aware terhadap penyakit ini.
Manajemen paling baik untuk penderita perforasi gaster adalah pencegahan. Sebab, jika kebo¬coran lambung sudah terjadi, penanganannya akan menghabiskan banyak biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh pa¬sien, keluarga, rumah sakit, dan ujungnya adalah negara kita. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan langsung konsumsi jamu-jamuan "gelap" dengan pe¬nyakit bocor lambung pada pen-derita.

















BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

I. Kesimpulan
• Isolasi simplisia
Dari hasil praktikum kami mengidentifikasi bahwa jahe mengandung senyawa :
1. Alkaloid
2. Flavonoid
3. Fenol
4. Steroid
Khasiat dari jahe adalah:
Dalam pengobatan tradisional Asia, jahe dipakai untuk mengobati selesma, batuk, diare dan penyakit radang sendi tulang seperti artritis. Jahe juga dipakai untuk meningkatkan pembersihan tubuh melalui keringat.
Penelitian modern telah membuktikan secara ilmiah berbagai manfaat jahe, antara lain :
• Menurunkan tekanan darah.
• Membantu pencernaan,
• Gingerol pada jahe bersifat antikoagulan,
• Mencegah mual, karena jahe mampu memblok serotonin,
• Membuat lambung menjadi nyaman, meringankan kram perut dan membantu mengeluarkan angin.
• Jahe juga mengandung antioksidan yang membantu menetralkan efek merusak yang disebabkan oleh radikal bebas di dalam tubuh.
Jahe sebagai Obat Praktis Jahe merupakan pereda rasa sakit yang alami dan dapat meredakan nyeri rematik, sakit kepala, dan migren.

• Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi, sehinnga didapat ekstrak yang kita inginkan, setelah tiga hari kita pekatkan dengan vakum rotary evaporator.

• Fraksinasi
Maserat yang didapat difaksinasi menjadi beberapa fraksi, yaitu fraksi I, ekstrak polar (fenol,terpenoid). Fraksi II, ekstra basa (alkaloid). Fraksi II, ekstra polar dan metanol (alkaloid kurtener dan N-Oksida)
• Kromatografi
Pada praktikum ini kami menggukan kromatografi lapis tipis (KLT) dengan lempeng silika gel GF 254.
Dengan Rf T1 =4,7/5= 0,94
T2 =4,9/5=0,98
F1(1)=3,85/5=0,77
F1(2)=4,9/5=0,98
F2=4,95/5=0,99
A1(f2)=0,65/5=0,13
A1(f3)=0,5/5=0,1
A2(f2)=0,9/5=0.18
A2(f3)=0,9/5=0,18
• Identifikasi Pemalsuan Jamu
Dalam praktikum jamu yang telah kami teliti tidak mengandung zat kimia dan tidak mengalami perubahan dalam kandungan dalam suatu jamu.
II. Saran
Pada penalitaian ataupun praktikum selanjudnya metode isolasi (penyarian) hendaknya menggunakan metode perkolasi. Karena cara perkolasi lebih baik dibandingkan dengan maserasi.
Selain hasil yang tidak benar-benar murni cairan penyari yang di butuhkan juga sedikit lebih banyak.
Pada pembuatan serbuk jangan membuat serbuk terlalu halus.
Laboratorium yang digunakan harap segera di renopasi.










Lampiran-lampiran