Sabtu, 26 Desember 2009

FARMAKO KINETIK OBAT

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tablet merupakan bentuk sediaan obat yang diberikan melalui mulut merupakan cara pemberian obat yang paling utama untuk memperoleh efek sistemik, dimana lebih dari 90 % persenyawaan obat diberikan melalui rute ini. Obat-obat yang diberikan secara per oral dalam bentuk sediaan farmasi sangat beragam dan mempunyai keuntungan masing-masing. Salah-satunya dalam bentuk tablet.
Tablet merupakan bentuk sediaan obat yang paling sering digunakan, karena harganya murah dengan takaran yang tepat dan dapat dikemas secara baik. Tablet merupakan sediaan padat dan kompak yang dibuat dengan cara kempa atau dengan cetak. Zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai, zat pengikat, zat pelincir, zat pembsahan atau zat lain yang cocok. Untuk mendapatkan tablet yan optimal maka dibutuhkan suatu formula, untuk menghasilkan suatu formula yang optimal dalam proses pembuatan tablet diperlukan suatu studi awal sebelum memasuki tahap formula sesungguhnya.
Proses suatu zat padat memasuki pelarut dan menghasilkan suatu larutan atau melarutnya zat padat disebut disolusi. Beberapa factor yang dapat mempengaruhi disolusi antara lain sifat fisikokimia obat, factor formulasi, anatomi fisiologi saluran cerna dan lain-lain.
Jalur Proses disolusi suatu obat yaitu :
Disintegrasi Deagregasi
Tablet kapsul granul/agregat partikel halus

Disolusi Disolusi Disolusi

Obat dalam larutan
(invitro/invivo)

Absorpsi (in vivo)

Obat dalam darah, cairan tubuh lainnya dan dalam jaringan
Laju disolusi bahan obat dapat mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang diabsorpsi. Untuk bahan obat yang mudah larut dalam air, disolusi cenderung lebih cepat, namun kemampuan obat untuk menembus membrane sel tidak cepat. Dan sebagai tahap penentu laju adalah absorpsi melalui membrane pencernaan. Untuk obat yang tidak larut dalam air, mudah larut dalam lemak maka obat tersebut lebih mudah menembus membrane sel, kecepatan absorbsinya dibatasi oleh kecepatan disolusi dari obat yang tidak larut dari sediaan.
Untuk menguji disolusi tablet maka diperlukan medium yang sesuai. Medium yang digunakan dalam disolusi merupakan pelarut dengan karakteristik tertentu dan merupakan suatu medium pembanding bagaimana suatu zat aktif bekerja dalam tubuh. Air merupakan medium pelarut yang bersifat netral, dan dapar posfat dengan pH tertentu digunakan untuk memperkirakan nasib suatu obat di dalam usus.
Dalam praktikum ini digunakan parasetamol tablet dari indo farma sebagai tablet yang akan diuji.selain itu, digunakan dapar fosfat pH 5,8 sebagai medium disolusi ditunjukan untuk mengasumsikan kerja parasetamol di usus agar sama seperti suasana pH didalam usus dan memahami profil disolusi obat.

B. TUJUAN
1. Memahami profil disolusi obat dalam berbagai kondisi pH
2. Memahami pengaruh formulasi terhadap laju disolusi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Parasetamol
1. Umum
Nama kimianya dikenal N-asetil-4-aminofenol dengan rumus molekul C8H9NO2.
Parasetamol merupakan metabolit aktif fenasetin yang bertanggung jawab bagi efek analgesiknya. Ia menghambat prostaglandin yang lemah dan efek antiinflamasinya tidak bermakna. Asetaminofen di Indonesia dikenal dengan nama parasetamol dan diberikan secara per oral, parasetamol kurang mengiritasi lambung dan karena itu secara umum lebih disukai.
2. Sifat Fisika dan Kimia
Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0%, mempunyai rumus molekul C8H9NO2 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan, dengan bobot molekul 151,16.
Parasetamol mempunyai bentuk hablur atau serbuk putih, tidak berbau, rasa pahit, memiliki suhu lebur 169 C sampai 172 C. larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%)P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P, larut dalam larutan alkali hidroksida.

B. Disolusi
Laju disolusi merupakan waktu yang diperlukan obat untuk melarut dalam cairan. Laju disolusi dinyatakan sebagai milligram zat yang dilarutkan permenit sentimeter persegi (mg/ menit/ cm2).

Disolusi adalah suatu perubahan proses dari bentuk padat ke bentuk cairan atau larut, dimana dimulai dengan disintegrasi kemudian melarut sehingga menghasilkan bentuk larutan. Disolusi dapat mengakibatkan perbedaan aktifitas biologi dari suatu zat obat mungkin diakibatkan oleh laju dimana obat menjadi tersedia untuk diserap tubuh.
Alat disolusi yang digunakan pada tablet parasetamol adalah alat tipe 2 dengan metode dayung, yang terdiri dari daun dan batang seperti pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertical wadah dan berputar halus tanpa goyangan.
Pada praktikum uji disolusi tablet parasetamol menggunakan medium disolusi larutan dapar posfat. Dapar adalah senyawa-senyawa atau campuran senyawa yang dapat meniadakan perubahan pH terhadap penambahan sedikit asam atau basa, atau dikenal sebagai aksi dapar. Larutan dapar posfat digunakan sebagai media buatan untuk memperkirakan nasib obat dalam usus yang pada umumnya bersifat basa dengan pH sekitar 5-8.
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi yaitu:
1. Sifat fisikokimia obat.
a. Karakteristik fase padat.
Laju disolusi dipengaruhi oleh bentuk amorf dan kristal. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa bentuk amorf dari obat lebih memberikan kelarutan yang besar dan laju disolusi yang lebih tinggi daripada bentuk kristal.
b. Polimorfisme.
Polimorf merupakan bentuk kristal obat yang terdiri lebih dari satu bentuk kristal. Polimorf menunjukkan kinetika pelarut yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Beberapa laporan menunjukkan bahwa polimorfisme dalam bentuk hidrat, solvate atau kompleks secara nyata mempengaruhi karakteristik disolusi & obat.
c. Karakteristik partikel.
Laju disolusi secara langsung berhubungan dengan permukaan obat. Jika daerah permukaan diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel, laju disolusi menjadi tinggi disebabkan pengurangan ukuran partikel
2. Faktor formulasi
a. Bahan tambahan.
Laju disolusi suatu obat murni dapat berubah secara bermakna saat dicampur dengan berbagai bahan tambahan selama proses pencetakan bentuk sediaan. Bahan tambahan ini antara lain bahan pengisi, pengikat, penghancur, pelicin, dan sebagainya.
b. Ukuran partikel.
Untuk meningkatkan laju disolusi dipilih ukuran partikel optimal yaitu cukup kecil untuk memberikan luas permukaan spesifik yang berarti, tetapi tidak terlalu kecil agar kesulitan pembasahan yang disebabkan oleh muatan partikel yang terjadi selama penggerusan dapat dihindari.
Uji Disolusi Tablet yaitu untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi (missal Farmakope) untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masing-masing monografi.
Persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan table penerimaan. Lanjutkan pengujian sampai 3 tahap kecuali bila hasil pengujian memenuhi tahap S1 atau S2. Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut seperti tertera pada masing-masing monografi, dinyatakan dalam persentasi kadar pada etiket, angka 5% dan 15% dalam table adalah persentasi kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti sama dengan Q. Berikut ini merupakan table penerimaan uji disolusi yang tertera pada Farmakope IV:
Tahap Pengujian Jumlah satuan yang diuji Kriteria Penerimaan

S1 6 Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q+5%
S2 6 Rata-rata dari 12 unit (S1 + S2) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15%
S3 12 Rata-rata dari 24 unit (S1 + S2 + S3) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15% dan tidak satu unitpun yang lebih kecil dari Q – 25%

BAB III
METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan
Alat-alat :
1. Disolution tester
2. Spektrofotometer UV-VIS
3. Vial 12 pcs @ 15 ml
Bahan-bahan:
1. Tablet parasetamol (generic dan paten)
2. HCl 0,1 N
3. Larutan dapar fosfat pH 5,8 dan 7,5
4. Aquadest

B. Cara Kerja
1. Siapkan alat dissolution tester tipe 2 dan bahan.
2. Setiap kelompok menggunakan satu sampel uji dengan medium disolusi yang telah ditetapkan.
3. Penentuan panjang gelombang larutan parasetamol; buat larutan standar konsentrasi 10μg/ml dan ukur serapannya pada panjang gelombang 220-350 nm.
4. Pembuatan kurva kalibrasi; buat larutan standar parasetamol dengan beberapa konsentrasi yaitu, 4, 6, 8, 10, 12, dan 14μg/ml dan ukur serapannya pada panjang gelombang maksimum (hasil pengukuran pada no. 2).
5. Penentuan profil disolusi; wadah disolusi (chamber) diisi dengan medium disolusi sebanyak 900 ml. Tablet parasetamol dimasukkan dalam chamber yang telah terisi medium disolusi kemudian atur alat disolusi pada kecepatan 50 rpm. Ambillah larutan dalam chamber (melalui pemipetan) sebanyak 5 ml pada menit ke 0, 5, 10, 15, 20, dan 30 dan setiap pengambilan harus digantikan dengan medium lagi sejumlah yang sama. Masing-masing larutan tersebut diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum dengan spektrofotometer UV-Vis, kemudian tentukan kadar parasetamol yang terdisolusi per satuan waktu menggunakan kurva kalibrasi.


BAB IV
HASIL DAN PERHITUNGAN

A. Hasil
Dari hasil praktikum pada tanggal 20 Oktober 2009 di dapat hasil :
1. Kurva Kalibrasi Parasetamol
Standar Konsentrasi Absorban
1. 4,000 0,191
2. 6,000 0,315
3. 8,000 0,436
4. 10,000 0,557
5. 12,000 0,665

2. Kurva Parasetamol Generik (PCT PT INDOFARMA)
Menit Ke Konsentrasi absorban
0 menit 4,3055 0,213
5 menit 6,8316 0,363
10 menit 7,2910 0,391
15 menit 7,1105 0,380
20 menit 7,3197 0,392
30 menit 7,2007 0,385

3. Kurva Parasetamol Paten (PAMOL)
Menit Ke Konsentrasi absorban
0 menit 1,1478 0,025
5 menit 6,9916 0,373
10 menit 7,8405 0,423
15 menit 7,7954 0,421
20 menit 7,1987 0,385
30 menit 7,3607 0,395



B. Perhitungan
1. Parasetamol Generik (PCT PT INDOFARMA)
a. Menit ke 0
- Y = a + bx
0,213 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,213 + 0,0432
X = 4,30588 μg/ml = 0,00430588 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,00430588 mg/ml × 900 ml
= 387,5294 mg

b. Menit ke 5
- Y = a + bx
0,363 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,363 + 0,278
X = 6,8268 μg/ml = 0,0068268 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0068268 mg/ml × 900 ml
= 614,4201 mg

c. Menit ke 10
- Y = a + bx
0,391 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,391 + 0,0432
X = 7,2974 μg/ml = 0,007294 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0072974 mg/ml × 900 ml
= 656,7731 mg

d. Menit ke 15
- Y = a + bx
0,380 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,380 + 0,0432
X = 7,1126 μg/ml = 0,0071126 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0071126 mg/ml × 900 ml
= 640,1344 mg

e. Menit ke 20
- Y = a + bx
0,392 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,392 + 0,0432
X = 7,3143 μg/ml = 0,0073143 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0073143 mg/ml × 900 ml
= 658,2857 mg

f. Menit ke 30
- Y = a + bx
0,0,385 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,385 + 0,0432
X = 7,1966 μg/ml = 0,0071966 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0071966 mg/ml × 900 ml
= 647,6974 mg

2. Parasetamol Paten (PAMOL)
a. Menit ke 0
- Y = a + bx
0,025 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,025 + 0,0432
X = 7,6807 μg/ml = 0,0076807 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0076807 mg/ml × 900 ml
= 691,2630 mg

b. Menit ke 5
- Y = a + bx
0,373 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,373 + 0,0432
X = 6,9949 μg/ml = 0,0069949 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,006994 mg/ml × 900 ml
= 629,5410 mg

c. Menit ke 10
- Y = a + bx
0,423 = −0,0423 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,423 + 0,0432
X = 7,8353 μg/ml = 0,0078353 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0078353 mg/ml × 900 ml
= 705,1765 mg

d. Menit ke 15
- Y = a + bx
0,421 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,421 + 0,0432
X = 7,8016 μg/ml = 0,0078016 mg/ml

- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0067597 mg/ml × 900 ml
= 702,1512 mg/ml

e. Menit ke 20
- Y = a + bx
0,385 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,385 + 0,0432
X = 7,1966 μg/ml = 0,0071966 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0071966g/ml × 900 ml
= 647,694 mg

f. Menit ke 30
Y = a + bx
0,395 = −0,0432 + 0,0595 X
0,0595 X = 0,395 + 0,0432
X = 7,3647 μg/ml = 0,0073647 mg/ml
- Massa zat aktif = X × factor pengenceran
= 0,0073647 mg/ml × 900 ml
= 662,8235 mg


Menit Ke PCT Generik %Terdisolusi PCT PATEN % Terdisolusi

0 menit 77,9364 % 16,1832 %
5 menit 123,9972 % 93,2356 %
10 menit 133,1975 % 117,7816 %
15 menit 130,5811 % 123,5984 %
20 menit 134,9428 % 132,5063 %
30 menit 133,5447 % 136,2686 %

BAB V
PEMBAHASAN
Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik dan secara keseluruhan menunjukkan kinetic dan perbandingan zat aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan. Ketersediaan hayati obat yang diformulasi menjadi sediaan farmasi merupakan bagian dari salah satu tujuan rancangan bentuk sediaan dan yang terpenting untuk keefektifan obat tersebut. Pegkajian terhadap ketersediaan hayati ini tergantung pada absorpsi obat ke dalam sirkulasi umum serta pengukuran dari obat yang terabsorpsi tersebut. Dalam menaksir ketersediaan hayati ada tiga parameter yang biasanya diukur yang an profil konsentrasi dalam darah dan waktu dari obat yang diberikan (Abdou, 1989).
1. Konsentrasi puncak (Cmax), menggambarkan konsentrasi obat tertinggi dalam sirkulasi sistemik. Konsentrasi ini tergantung pada konstanta absorbsi, dosis, volume distribusi dan waktu pencapaian konsentrasi obat maksimum dalam darah. Konsentrasi puncak sering kali dikaitkan dengan intensitas respon biologis dan harus di atas MEC dan tidak melebihi MTC.
2. Waktu untuk konsentrasi puncak (tmax) menggambarkan lamanya waktu tersedia untuk mencapai konsentrasi puncak dari obat sirkulasi sistemik. Parameter ini tergantung pada konstanta absorbs yang menggambarkan permulaan dari level puncak dari respon biologis dan bias digunakan sebagai perkiraan kasar untuk laju absorbsi.
3. Luas daerah di bawah kurva (AUC), merupakan total area di bawah kurva konsentrasi vs waktu yang menggambarkan perkiraan jumlah obat yang berada dalam sirkulasi sistemik. Bila membandingkan suatu formulasi untuk acuan, parameter ini menggambarkan jumlah ketersediaan hayati dan biasa digunakan sebagai perkiraan kasar jumlah obat diabsorbsi. Ketersediaan hayati merupakan suatu penerapan baru yang kegunaannya tidak perlu diragukan lagi. Penerapan ketersediaan hayati berkembang dalam dua arah, yaitu:
1. Farmasi klinik yang berkaitan dengan rasionalisasi keadaan individu penderita, artinya penyesuaian pasologi yang tepat pada setiap penderita, dengan mempertimbangkan perubahan farmakokinetika in vivo, baik karena interaksi obat maupun karena fungsi fisiolagi.
2. Farmasetika yang berkaitan dengan rasionalisasi pengembangan suatu obat, yaitu penyesuaian optimal jalur pemberian obat dan bentuk sediaan terhadap karakteristik farmakokinetika zat aktif.
Kedua arah pengembangan tersebut tercakup dalam lingkup penelitian biofarmasetika dan berkaitan dengan penyesuaian pada kurva profil kadar zat aktif dalam darah penderita dan efek yang diteliti.
Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan:
1. Banyaknya obat yang diabsorbsi dari formulasi sediaan.
2. Kecapatan obat yang diabsorbsi.
3. Lama obat berada dalam cairan biologi atau jaringan dan dikorelasikan dengan respon pasien.
4. Hubungan antara kadar obat dalam darah dan efikasi klinis serta toksisitas.
Metode penilaian ketersediaan hayati
Penelitian ketersediaan hayati pada sukarelawan dapat dilakukan dengan beberapa metode:
a. Metode dengan menggunakan data darah
b. Data urin
c. Data efek farmakologis
d. Data respon klinis
Pemilihan metode bergantung pada tujuan studi, metode analisis untuk penetapan kadar obat dan sifat produk obat. Data darah dan data urin lazim digunakan untuk menilai ketersediaan hayati sediaan obat yang metode analisis zat berkhasiat telah diketahui cara dann validitasnya. Jika cara dan validitasnya belum diketahui dapat digunakan data farmakologi dengan syarat efek farmakologi yang timbul dapat diukur secara kuantitatif, seperti efek pada kecepata denyut jantung atau tekanan darah yang dapat digunakan sebagai indeks ketersediaan hayati obat. Untuk evaluasi ketersediaan hayati menggunakan data respon klinis dapat mengalami perbedaan antar individu akibat farkokinetika dan farmakodinamik obat yang berbeda. Factor farmakodinamik yang berpengaruh meliputi: umur, toleransi obat, interaksi obat dan factor-faktor patofisiologik yang tidak diketahui.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati oabat yang digunakan secara oral:
4. Sifat fisikokimia zat aktif.
Paracetamol merupakan zat kimia yang mempunyai Panjang gelombang maksimum parasetamol dalam larutan dapar fosfat pH 5,8 menghasilkan panjang gelombang 243,8 nm. Pada pembuatan kurva kalibrasi parasetamol dalam larutan dapar pH 5,8 diperoleh persamaan regresi Y = -0,0432 + 0,0595X dan r = 0,9996.


BAB V
KESIMPULAN

Uji yang dilakukan adalah uji disolusi pada tablet parasetamol 500 mg. Monografi tablet parasetamol, Media Disolusi : 900 ml larutan dapar posfat pH 5,8, Alat tipe 2 : 50 rpm, Waktu : 30 menit, dan panjang gelombang ± 243 nm. Toleransi dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80% (Q) C8H9NO2, dari jumlah yang tertera pada etiket.






DAFTAR PUSTAKA

 Anonim. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: DEPKES RI. Hal 649 – 650.
 Ansel.C, Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press. Hal 118 – 124.
 Lachman, L, Lieberman, H, and Kanig, JL. 1989. Teori dan Praktek Farmasi Industri Edisi II. Jakarta: UI Press. Hal 643 – 679.
 Siswandono., Soekarjo, Bambang. 1995. Kimia Medisinal Edisi I. Airlangga University Press. Surabaya.

Tidak ada komentar: